Jumat, 29 Mei 2009

TEORI BELAJAR BAHASA


Oleh: Eri Sarimanah

Pendahuluan

Dapat berpikir dan berbahasa merupakan ciri utama yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Karena memiliki keduanya, maka sering disebut manusia sebagai makhluk yang mulia dan makhluk sosial. Dengan pikirannya manusia menjelajah ke setiap fenomena yang nampak bahkan yang tidak nampak. Dengan bahasanya, manusia berkomunikasi untuk bersosialisasi dan menyampaikan hasil pemikirannya.
Salah satu objek pemikiran manusia adalah bagaimana manusia dapat berbahasa. Pendapat para ahli tentang belajar bahasa tersebut bermacam-macam. Di antara pendapat mereka ada yang bertentangan namun ada juga yang saling mendukung dan melengkapi. Pemikiran para ahli tentang teori belajar bahasa ini begitu variatif dan menarik. Oleh karena itu, kami jadikan salah satu alasan pembahasan dalam makalah ini.
Sehubungan dengan begitu banyaknya teori tentang belajar bahasa, maka yang akan kami kemukakan dalam makalah ini, kami batasi pada teori Behaviorisme, Nativisme, Kognitivisme, Fungsional, Konstruktivisme, Humanistik, dan Sibernetik. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan kami menjadi lebih terfokus.Teori- teori ini ternyata berpengaruh sangat kuat dalam dunia ilmu bahasa. Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang teori belajar bahasa, kita pahami dulu pengertian teori. Menurut Mc lauglin dalam (Hadley: 43, 1993) Fungsi teori adalah untuk membantu kita mengerti dan mengorganisasi data tentang pengalaman dan memberikan makna yang merujuk dan sesuai. Ellis menyatakan bahwa setiap guru pasti sudah memiliki teori tentang pembelajaran bahasa, tetapi sebagian besar guru tersebut tidak pernah mengungkapkan seperti apa teori itu. Teori mempunyai fungsi yaitu:
1) Mendeskripsikan, menerangkan, menjelaskan tentang fakta. Contohnya fakta bahwa mengapa air laut itu asin.
2) Meramalkan kejadian-kejadian yang akan terjadi berdasarkan teori yang sudah ada.
3) Mengendalikan yaitu mencegah sesuatu supaya tidak terjadi dan mengusahakan supaya terjadi
Teori berhubungan dengan belajar. Belajar adalah acquiring or getting knowledge of a subject or a skill by study, experience, or instruction ( pemerolehan ilmu melalui belajar, pengalaman, pelatihan) atau learning is relatively permanent change in a behavioral tendency and is the result of reinforced practice (Kimble and Garmezy 1963: 133). Dengan kata lain teori belajar bahasa adalah gagasan-gagasan tentang pemerolehan bahasa.
Semua kegiatan belajar melibatkan ingatan. Jika kita tidak dapat mengingat apa pun pengalaman kita maka kita tidak dapat belajar. Seringkali kita lupa, padahal sesuatu yang kita lupakan belum tentu hilang dari ingatan. Refleksi dari pengalaman belajar di sekolah menunjukkan bahwa sesuatu yang pernah dipelajari sungguh-sungguh bisa menjadi lupa. Ingatan dapat digali kembali dengan cara merangsang otak. Pengetahuan yang terlupakan dapat diingat kembali dengan cara belajar kembali.
Menurut Oemar Hamalik (2001: 154), prinsip belajar meliputi:
1. Dilakukan dengan sengaja.
2. Harus direncanakan sebelumnya dengan struktur tertentu.
3. Guru menciptakan pembelajaran buat siswa.
4. Memberikan hasil tertentu buat siswa.
5. Hasil-hasil yang dicapai dapat dikontrol dengan cermat.
6. Sistem penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan.
Sedangkan ciri-ciri perubahan perilaku dalam belajar: terjadi secara sadar, bersifat kontinu, fungsional, bersifat positif, aktif, tidak bersifat sementara, bertujuan atau terarah, mencakup seluruh aspek perilaku individu. Menurut Suryabrata dalam Sumardi (1998: 232) proses belajar diharapkan membawa perubahan (dalam arti behavioral Changes, aktual maupun potensial), menghasilkan kecakapan baru, adanya usaha mencapai hasil yang lebih baik (dengan sengaja).
Sehubungan dengan prisip belajar tersebut kiranya teori belajar ini dapat bermanfaat dalam pengembangan pembelajaran bahasa. Dalam makalah ini dijabarkan teori-teori belajar secara jelas menurut aliran tokoh tersebut. Harapan kami, semoga makalah ini menambah wawasan kita tentang pemerolehan bahasa. Dan yang terpenting, semoga kita lebih mencintai Sang Pencipta yang Mahaluas pemikiran-Nya hingga kita menjadi makhluk yang paling sempurna dan istimewa.

Pembahasan
1. Teori Behaviorisme
Tokoh aliran ini adalah John B. Watson (1878 – 1958) yang di Amerika dikenal sebagai bapak Behaviorisme. Teorinya memumpunkan perhatiannya pada aspek yang dirasakan secara langsung pada perilaku berbahasa serta hubungan antara stimulus dan respons pada dunia sekelilingnya. Menurut teori ini, semua perilaku, termasuk tindak balas (respons) ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus). Jika rangsangan telah diamati dan diketahui maka gerak balas pun dapat diprediksikan. Watson juga dengan tegas menolak pengaruh naluri (instinct) dan kesadaran terhadap perilaku. Jadi setiap perilaku dapat dipelajari menurut hubungan stimulus - respons.
Untuk membuktikan kebenaran teorinya, Watson mengadakan eksperimen terhadap Albert, seorang bayi berumur sebelas bulan. Pada mulanya Albert adalah bayi yang gembira dan tidak takut bahkan senang bermain-main dengan tikus putih berbulu halus. Dalam eksperimennya, Watson memulai proses pembiasaannya dengan cara memukul sebatang besi dengan sebuah palu setiap kali Albert mendekati dan ingin memegang tikus putih itu. Akibatnya, tidak lama kemudian Albert menjadi takut terhadap tikus putih juga kelinci putih. Bahkan terhadap semua benda berbulu putih, termasuk jaket dan topeng Sinterklas yang berjanggut putih. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelaziman dapat mengubah perilaku seseorang secara nyata.
Seorang behavioris menganggap bahwa perilaku berbahasa yang efektif merupakan hasil respons tertentu yang dikuatkan. Respons itu akan menjadi kebiasaan atau terkondisikan, baik respons yang berupa pemahaman atau respons yang berwujud ujaran. Seseorang belajar memahami ujaran dengan mereaksi stimulus secara memadai dan memperoleh penguatan untuk reaksi itu.
Salah satu percobaan yang terkenal untuk membentuk model perilaku berbahasa dari sudut behavioris adalah yang dikemukakan oleh Skinner (1957) dalam Verbal Behavior. Percobaan Skiner dikenal dengan percobaannya tentang perilaku binatang yang terkenal dengan kotak skinner. Teori skinner tentang perilaku verbal merupakan perluasan teorinya tentang belajar yang disebutnya operant conditioning. Konsep ini mengacu pada kondisi ketika manusia atau binatang mengirimkan respons atau operant (ujaran atau sebuah kalimat) tanpa adanya stimulus yang tampak. Operant itu dipertahankan dengan penguatan. Misalnya, jika seorang anak kecil mengatakan minta susu dan orang tuanya memberinya susu, maka operant itu dikuatkan. Dengan perulangan yang terus menerus operant semacam itu akan terkondisikan.
Menurut Skinner, perilaku verbal adalah perilaku yang dikendalikan oleh akibatnya. Bila akibatnya itu hadiah, perilaku itu akan terus dipertahankan. Kekuatan serta frekuensinya akan terus dikembangkan. Bila akibatnya hukuman, atau bila kurang adanya penguatan, perilaku itu akan diperlemah atau pelan-pelan akan disingkirkan.
Sebagai contoh dapat kita saksikan perilaku anak-anak di sekeliling kita. Ada anak kecil menangis meminta es pada ibunya. Tetapi, karena ibunya yakin dan percaya bahwa es itu menggunakan pemanis buatan maka sang ibu tidak meluluskan permintaan anaknya. Sang anak terus menangis. Tetapi sang ibu bersikukuh tidak menuruti permintaannya. Lama kelamaan tangis anak tersebut akan reda dan lain kali lain tidak akan minta es semacam itu lagi kepada ibunya, apalagi dengan menangis. Seandainya anak itu kemudian dituruti keinginannya oleh ibunya, apa yang terjadi? Pada kesempatan yang lain sang anak akan minta es lagi. Apabila ibunya tidak meluluskannya maka ia akan menangis dan terus menangis sebab dengan menangis ia akan mendapatkan es. Kalau ibunya memberi es lagi maka perbuatan menangis itu dikuatkan. Pada kesempatan lain dia akan menangis manakala ia meminta sesuatu pada ibunya.
Implikasi teori ini ialah bahwa guru harus berhati-hati dalam menentukan jenis hadiah dan hukuman. Guru harus mengetahui benar kesenangan siswanya. Hukuman harus benar-benar sesuatu yang tidak disukai anak, dan sebaliknya hadiah merupakan hal yang sangat disukai anak. Jangan sampai anak diberi hadiah menganggapnya sebagai hukuman atau sebaliknya, apa yang menurut guru adalah hukuman bagi siswa dianggap sebagai hadiah. Contoh, anak yang suka bermain sepakbola, akan menganggap pemberian waktu untuk bermain sepakbola adalah hadiah, sebaliknya, melarang untuk sementara waktu tidak bermain sepakbola adalah hukuman yang menyakitkan.
Beberapa linguis dan ahli psikologi sependapat bahwa model Skinner tentang perilaku berbahasa dapat diterima secara memadai untuk kapasitas memperoleh bahasa, untuk perkembangan bahasa itu sendiri, untuk hakikat bahasa dan teori makna.
Teori yang tak kalah menariknya untuk kita kaji adalah Teori Pembiasaan Klasik dari Pavlov (1848-1936) yang merupakan teori stimulus – respons yang pertama menjadi dasar lahirnya teori-teori Stimulus – Respons yang lainnya. Pavlov berpendapat bahwa pembelajaran merupakan rangkaian panjang dari respons-respons yang dibiasakan. Menurut teori Pembiasaan Klasik ini kemampuan seseorang untuk membentuk respons-respons yang dibiasakan berhubungan erat dengan jenis sistem yang digunakan. Teori ini percaya adanya perbedaan-perbedaan yang dibawa sejak lahir dalam kemampuan belajar. Respons yang dibiasakan (RD) dapat diperkuat dengan ulangan-ulangan teratur dan intensif. Pavlov tidak percaya dengan pengertian atau pemahaman atau apa yang disebut insight (kecepatan melihat hubungan-hubungan di dalam pikiran). Jadi dapat dikatakan bagi Pavlov respons yang dibiasakan adalah unit dasar pembelajaran yang paling baik.
Teori Pavlov tersebut didukung pula oleh Thorndike (1874-1919) yang menghasilkan Teori Penghubungan atau dikenal dengan trial and error. Teori ini didasarkan pada sebuah eksperimen yang tak jauh berbeda dengan Pavlov. Thorndike menggunakan kucing sebagai sarana eksperimennya yang berhasil membuka engsel dengan cara dibiasakan dan dihubung-gubungkan. Dari hasil eksperimen itu, Thorndike berpendapat bahwa pembelajaran merupakan suatu proses menghubung-hubungkan di dalam sistem saraf dan tidak ada hubungannya dengan insight atau pengertian. Yang dihubungkan adalah peristiwa-peristiwa fisik dan mental dalam pembelajaran itu. Yang dimaksud dengan peristiwa fisik adalah segala rangsangan (stimulus) dan gerak balas (respons). Sedangkan peristiwa mental adalah segala hal yang dirasakan oleh pikiran (akal). Thorndike menemukan hukum latihan ( the law of exercise) dan hukum akibat (the law of effect) yang kita kenal sekarang dengan reinforcement atau penguatan. Contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika belajar naik sepeda atau dalam belajar bahasa adalah dalam pengucapan kata-kata sulit. Kegagalan yang diulang terus menerus lama-kelamaan akan berhasil.
Upaya lain untuk mendukung teori Behaviorisme dalam pemerolehan bahasa dilakukan Osgood (1953). Dia menjelaskan bahwa proses pemerolehan semantik (makna) didasarkan pada teori mediasi atau penengah. Menurutnya, makna merupakan hasil proses pembelajaran dan pengalaman seseorang dan merupakan mediasi untuk melambangkan sesuatu. Makna sebagai proses mediasi pelambang dan merupakan satu bagian yang distingtif dari keseluruhan respons terhadap suatu objek yang dibiasakan pada kata untuk objek itu, atau persepsi untuk obejek itu. Osgood telah memperkenalkan konsep sign (tanda atau isyarat) sehubungan dengan makna
Pendapat para ahli psikologi behaviorisme yang menekankan pada observasi empirik dan metode ilmiah hanya dapat mulai menjelaskan keajaiban pemerolehan dan belajar bahasa tapi ranah kajian bahasa yang sangat luas masih tetap tak tersentuh.

2. Teori Nativisme
Berbeda dengan kaum behavioristik, kaum nativistik atau mentalistik berpendapat bahwa pemerolehan bahasa pada manusia tidak boleh disamakan dengan proses pengenalan yang terjadi pada hewan. Mereka tidak memandang penting pengaruh dari lingkungan sekitar. Selama belajar bahasa pertama sedikit demi sedikit manusia akan membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis telah terprogramkan. Dengan perkataan lain, mereka menganggap bahwa bahasa merupakan pemberian biologis. Menurut mereka bahasa terlalu kompleks dan mustahil dapat dipelajari oleh manusia dalam waktu yang relatif singkat lewat proses peniruan sebagaimana keyakinan kaum behavioristik. Jadi beberapa aspek penting yang menyangkut sistem bahasa menurut keyakinan mereka pasti sudah ada dalam diri setiap manusia secara alamiah.
Istilah nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat. Bahwa setiap manusia dilahirkan sudah memiliki bakat untuk memperoleh dan belajar bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh dukungan dari berbagai sisi. Eric Lenneberg (1967) membuat proposisi bahwa bahasa itu merupakan perilaku khusus manusia dan bahwa cara pemahaman tertentu, pengkategorian kemampuan, dan mekanisme bahasa yang lain yang berhubungan ditentukan secara biologis.
Chomsky dalam Hadley (1993: 48) yang merupakan tokoh utama golongan ini mengatakan bahwasannya hanya manusialah satu-satunya makhluk Tuhan yang dapat melakukan komunikasi lewat bahasa verbal. Selain itu bahasa juga sangat kompleks oleh sebab itu tidak mungkin manusia belajar bahasa dari makhluk Tuhan yang lain. Chomsky juga menyatakan bahwa setiap anak yang lahir ke dunia telah memiliki bekal dengan apa yang disebutnya “alat penguasaan bahasa” atau LAD (language Acquisition Device). Chomsky dalam Hadley (1993:50) mengemukakan bahwa belajar bahasa merupakan kompetensi khusus bukan sekedar subset belajar secara umum. Cara berbahasa jauh lebih rumit dari sekedar penetapan Stimulus- Respon. Chomsky dalam Hadley (1993: 48) mengatakan bahwa eksistensi bakat bermanfaat untuk menjelaskan rahasia penguasaan bahasa pertama anak dalam waktu singkat, karena adanya LAD. Menurut golongan ini belajar bahasa pada hakikatnya hanyalah proses pengisian detil kaidah-kaidah atau struktur aturan-aturan bahasa ke dalam LAD yang sudah tersedia secara alamiah pada manusia tersebut.
Salah seorang penganut golongan ini Mc. Neil (Brown, 1980:22) mendeskripsikan LAD itu terdiri atas empat bakat bahasa, yakni:
a. Kemampuan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain.
b. Kemampuan mengorganisasikan peristiwa bahasa ke dalam variasi yang beragam.
c. Pengetahuan adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin dan sistem yang lain yang tidak mungkin.
d. Kemampuan untuk mengevaluasi sistem perkembangan bahasa yang membentuk sistem yang mungkin dengan cara yang paling sederhana dari data kebahasaan yang diperoleh.
Manusia mempunyai bakat untuk terus menerus mengevaluasi sistem bahasanya dan terus menerus mengadakan revisi untuk pada akhirnya menuju bentuk yang berterima di lingkungannya.
Chomsky dalam Hadley (1993: 49) mengemukakan bahwa bahasa anak adalah sistem yang sah dari sistem mereka. Perkembangan bahasa anak bukanlah proses perkembangan sedikit demi sedikit stuktur yang salah, bukan dari bahasa tahap pertama yang lebih banyak salahnya ke tahap berikutnya, tetapi bahasa anak pada setiap tahapan itu sistematik dalam arti anak secara terus menerus membentuk hipotesis dengan dasar masukan yang diterimanya dan kemudian mengujinya dalam ujarannya sendiri dan pemahamannya. Selama bahasa anak itu berkembang hipotesis itu terus direvisi, dibentuk lagi atau kadang-kadang dipertahankan.

3. Teori Kognitivisme
Pada tahun 60-an golongan kognitivistik mencoba mengusulkan pendekatan baru dalam studi pemerolehan bahasa. Pendekatan tersebut mereka namakan pendekatan kognitif. Jika pendekatan kaum behavioristik bersifat empiris maka pendekatan yang dianut golongan kognitivistik lebih bersifat rasionalis. Konsep sentral dari pendekatan ini yakni kemampuan berbahasa seseorang berasal dan diperoleh sebagai akibat dari kematangan kognitif sang anak. Mereka beranggapan bahwa bahasa itu distrukturkan atau dikendalikan oleh nalar manusia. Oleh sebab itu perkembangan bahasa harus berlandas pada atau diturunkan dari perkembangan dan perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi manusia. Dengan demikian urutan-urutan perkembangan kognisi seorang anak akan menentukan urutan-urutan perkembangan bahasa dirinya.
Menurut aliran ini kita belajar disebabkan oleh kemampuan kita menafsirkan peristiwa atau kejadian yang terjadi di dalam lingkungan. Titik awal teori kognitif adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif anak dalam menemukan struktur dalam bahasa yang didengar di sekelilingnya. Pemahaman, produksi, komprehensi bahasa pada anak dipandang sebagai hasil dari proses kognitif anak yang secara terus menerus berubah dan berkembang. Jadi stimulus merupakan masukan bagi anak yang berproses dalam otak. Pada otak terjadi mekanisme mental internal yang diatur oleh pengatur kognitif, kemudian keluar sebagai hasil pengolahan kognitif tadi.
Konsep sentral teori kognitif adalah kemampuan berbahasa anak berasal dari kematangan kognitifnya. Proses belajar bahasa secara kognitif merupakan proses berpikir yang kompleks karena menyangkut lapisan bahasa yang terdalam. Lapisan bahasa tersebut meliputi: ingatan, persepsi, pikiran, makna, dan emosi yang saling berpengaruh pada struktur jiwa manusia. Bahasa dipandang sebagai manifestasi dari perkembangan aspek kognitif dan afektif yang menyatakan tentang dunia dan diri manusia itu sendiri.
Dapat dikemukakan bahwa pendekatan kognitif menjelaskan bahwa:
a. dalam belajar bahasa, bagaimana kita berpikir
b. belajar terjadi dan kegiatan mental internal dalam diri kita
c. belajar bahasa merupakan proses berpikir yang kompleks.
Laughlin dalam Elizabeth (1993: 54) berpendapat bahwa dalam belajar bahasa seorang anak perlu proses pengendalian dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pendekatan kognitif dalam belajar bahasa lebih menekankan pemahaman, proses mental atau pengaturan dalam pemerolehan, dan memandang anak sebagai seseorang yang berperan aktif dalam proses belajar bahasa.
Selanjutnya menurut Piaget dalam Mansoer Pateda (1990: 67), salah seorang tokoh golongan ini mengatakan bahwa struktur komplek dari bahasa bukanlah sesuatu yang diberikan oleh alam dan bukan pula sesuatu yang dipelajari lewat lingkungan. Struktur tersebut lahir dan berkembang sebagai akibat interaksi yang terus menerus antara tingkat fungsi kognitif si anak dan lingkungan lingualnya.Struktur tersebut telah tersedia secara alamiah. Perubahan atau perkembangan bahasa pada anak akan bergantung pada sejauh mana keterlibatan kognitif sang anak secara aktif dengan lingkungannya.
Proses belajar bahasa terjadi menurut pola tahapan perkembangan tertentu sesuai umur. Tahapan tersebut meliputi:
a. Asimilasi: proses penyesuaian pengetahuan baru dengan struktur kognitif
b. Akomodasi: proses penyesuaian struktur kognitif dengan pengetahuan baru
c. Disquilibrasi: proses penerimaan pengetahuan baru yang tidak sama dengan yang telah diketahuinya.
d. Equilibrasi: proses penyeimbang mental setelah terjadi proses asimilasi.
Menurut Ausubel dalam Elizabeth (1993: 59) mengatakan proses belajar bahasa terjadi bila anak mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimiliki dengan pengetahuan baru. Proses itu melalui tahapan memperhatikan stimulus yang diberikan, memahami makna stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Selanjutnya menurut Bruner dalam Mansoer Pateda (1990: 49) mengemukakan bahwa, proses belajar bahasa lebih ditentukan oleh cara anak mengatur materi bahasa bukan usia anak. Proses belajar bahasa didapat melalui: enaktif yaitu aktivitas untuk memahami lingkungan; ikonik yaitu melihat dunia lewat gambar dan visualisasi verbal; simbolik yaitu memahami gagasan-gagasan abstrak.

4. Teori Fungsional
Dengan munculnya kontruktivisme dalam dunia psikologi, dalam tahun-tahun terakhir ini menjadi lebih jelas bahwa belajar bahasa berkembang dengan baik di bawah gagasan kognitif dan struktur ingatan.
Para peneliti bahasa mulai melihat bahwa bahasa merupakan manifestasi kemampuan kognitif dan efektif untuk menjelajah dunia, untuk berhubungan dengan orang lain dan juga keperluan terhadap diri sendirisebagai manusia. Lebih lagi kaedah generatif yang diusulkan di bawah naungan nativisme itu bersifat abstrak, formal, eksplisit dan logis, meskipun kaidah itu lebih mengutamakan pada bentuk bahasa dan tidak pada tataran fungsional yang lebih dari makna yang dibentuk dari makna yang dibentuk dari interaksi sosial.
a. Kognisi dan perkembangan bahasa
Piaget menggambarkan penelitian itu sebagai interaksi anak dengan lingkungannya dengan interaksi komplementer antara perkembangan kapasitas kognitif perseptual dengan pengalaman bahasa mereka. Penelitian itu berkaitan dengan hubungan antara perkembangan kognitif dengan pemerolehan bahasa pertama. Slobin menyatakan bahwa dalam semua bahasa, belajar makna bergantung pada perkembangan kognitif dan urutan perkembangannya lebih ditentukan oleh kompleksitas makna itu dari pada kompleksitas bentuknya. Menurut dia ada dua hal yang menentukan model:
1) Pada asas fungsional, perkembangan diikuti oleh perkembangan kapasitas komunikatif dan konseptual yang beroperasi dalam konjungsi dengan skema batin konjungsi.
2) Pada asas formal, perkembangan diikuti oleh kapasitas perseptual dan pemerosesan informasi yang bekerja dalam konjungsi dan skema batin tata bahasa.
b. Interaksi Sosial dan Perkembangan Bahasa
Akhir-akhir ini semakin jelas bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di luar pikiran kognitif dan struktur memori. Di sini tampak bahwa kontruktivis sosial menekankan prespektif fungsional. Bahasa pada hakikatnya digunakan untuk komunikasi interaktif. Oleh sebab itu kajian yang cocok untuk itu adalah kajian tentang fungsi komunikatif bahasa, fungsi pragmatik dan komunikatif dikaji dengan segala variabilitasnya.

5. Teori Konstruktvisme
Jean Piaget dan Leu Vygotski adalah dua nama yang selalu diasosiasikan dengan kontruktivisme. Ahli kontruktivisme menyatakan bahwa manusia membentuk versi mereka sendiri terhadap kenyataan, mereka menggandakan beragam cara untuk mengetahui dan menggambarkan sesuatu untuk mempelajari pemerolehan bahasa pertama dan kedua.
Pembelajaran harus dibangun secara aktif oleh pembelajar itu sendiri dari pada dijelaskan secara rinci oleh orang lain. Dengan demikian pengetahuan yang diperoleh didapatkan dari pengalaman. Namun demikian, dalam membangun pengalaman siswa harus memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pikirannya, menguji ide-ide tersebut melalui eksperimen dan percakapan atau tanya jawab, serta untuk mengamati dan membandingkan fenomena yang sedang diujikan dengan aspek lain dalam kehidupan mereka. Selain itu juga guru memainkan peranan penting dalam mendorong siswa untuk memperhatikan seluruh proses pembelajaran serta menawarkan berbagai cara eksplorasi dan pendekatan.

Siswa dapat benar-benar memahami konsep ilmiah dan sains karena telah mengalaminya. Penjelasan mendetail dari guru belum tentu mencerminkan pemahaman siswa mengerti kata-kata ilmiahnya, tapi tidak memahami konsepnya. Namun jika siswa telah mencobanya sendiri, maka pemahaman yang didapat tidak hanya berupa kata-kata saja, namun berupa konsep.
Dalam rangka kerjanya, ahli konstruktif menantang guru-guru untuk menciptakan lingkungan yang inovatif dengan melibatkan guru dan pelajar untuk memikirkan dan mengoreksi pembelajaran. Untuk itu ada dua hal yang harus dipenuhi, yaitu:
1) Pembelajar harus berperan aktif dalam menyeleksi dan menetapkan kegiatan sehingga menarik dan memotivasi pelajar,
2) Harus ada guru yang tepat untuk membantu pelajar-pelajar membuat konsep-konsep, nilai-nilai, skema, dan kemampuan memecahkan masalah.

6. Teori Humanisme
Teori ini muncul diilhami oleh perkembangan dalam psikologi yaitu psikologi Humanisme. Sesuai pendapat yang dikemukakan oleh McNeil (1977) “In many instances, communicative language programmes have incorporated educational phylosophies based on humanistic psikology or view which in the context of goals for other subject areas has been called ‘the humanistic curriculum’.” Teori humanisme dalam pengajaran bahasa pernah diimplementasikan dalam sebuah kurikulum pengajaran bahasa dengan istilah Humanistic curriculum yang diterapkan di Amerika utara di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Kurikulum ini menekankan pada pembagian pengawasan dan tanggungjawab bersama antar seluruh siswa didik. Humanistic curiculum menekankan pada pola pikir, perasaan dan tingkah laku siswa dengan menghubungkan materi yang diajarkan pada kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup siswa. Teori ini menganggap bahwa setiap siswa sebagai objek pembelajaran memiliki alasan yang berbeda dalam mempelajari bahasa.
Tujuan utama dari teori ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa agar bisa berkembang di tengah masyarakat. The deepest goal or purpose is to develop the whole persons within a human society. (McNeil,1977)
Sementara tujuan teori humanisme menurut Coombs (1981):
§ Pengajaran disusun berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan tujuan siswa. program pengajaran diarahkan agar siswa mampu menciptakan pengalaman sendiri berdasarkan kebutuhannya. hal ini dilakukan untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki.
§ Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengaktualisasikan dirinya dan untuk menumbuhkan kepercayaan dirinya.
§ Pengajaran disusun untuk memperoleh keterampilan dasar (akademik, pribadi, antar pribadi, komunikasi, dan ekonomi) berdasarkan kebutuhan masing-masing siswa.
§ Memilih dan memutuskan aktivitas pengajaran secara individual dan mampu menerapkannya.
§ Mengenal pentingnya perasaan manusia, nilai, dan persepsi.
§ Mengembangkan suasana belajar yang menantang dan bisa dimengerti.
§ Mengembangkan tanggung jawab siswa, mengembangkan sikap tulus, respek, dan menghargai orang lain, dan terampil dalam menyelesaikan konflik.
Teori Humanisme dalam pangajaran bahasa banyak dipengaruhi oleh pemikiran para ahli psikologi humanisme seperti Abraham maslow, Carl Roger, Fritz Peers dan Erich Berne. Para ahli psikologi tersebut menciptakan sebuah teori dimana pendidikan berpusat pada siswa (learner centered-pedagogy). Prakteknya dalam dunia pendidikan yaitu dengan menggabungkan pengembangan kognitif dan afektif siswa.
Dalam teori humanisme, setiap siswa memiliki tanggung jawab terhadap pembelajaran mereka masing-masing, mampu mengambil keputusan sendiri, memilih dan mengusulkan aktivitas yang akan dilakukan mengungkapkan perasaan dan pendapat mengenai kebutuhan, kemampuan, dan kesenangannya. Dalam hal ini, guru berperan sebagai fasilitator pengajaran, bukan menyampaikan pengetahuan.
Sementara menurut Fraida Dubin dan Elita Olshtain (1992-76) pengajaran bahasa menurut teori humanisme, sbb.
1) Sangat menekankan kepada komunikasi yang bermakna (meaningful communication) berdasarkan sudut pandang siswa. Teks harus otentik, tugas-tugas harus kommunikatif, Outcome menyesuaikan dan tidak ditentukan atau ditargetkan sebelumnya.
2) Pendekatan ini berfokus pada siswa dengan menghargai existensi setiap individu.
3) Pembelajaran digambarkan sebagai sebuah penerapan pengalaman individual dimana siswa memiliki kesempatan berbicara dalam proses pengambilan keputusan.
4) Siswa lain sebagai kelompok suporter dimana mereka saling berinteraksi, saling membantu dan saling mengevaluasi satu sama lain.
5) Guru berperan sebagai fasilitator yang lebih memperhatikan atmosphere kelas dibanding silabus materi yang digunakan.
6) Materi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan siswa.
7) Bahasa ibu para siswa dianggap sebagai alat yang sangat membantu jika diperlukan untuk memahami dan merumuskan hipotesa bahasa yang dipelajari.
Carl Rogers (1902-1987) dianggap sebagai penemu dan panutan dalam perkembangan pendekatan humanistik dalam pendidikan. Roger (1980) menekankan pada kebutuhan secara alamiah dari setiap orang untuk belajar. Peran guru adalah sebagai fasilitator pengajaran.

7. Teori Sibernetik
Istilah sibernetika berasal dari bahasa Yunani (Cybernetics berarti pilot). Istilah Cybernetics yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi sibernetika, pertama kali digunakan th.1945 oleh Nobert Wiener dalam bukunya yang berjudul Cybernetics. Nobert mendefinisikan Cybernetics sebagai berikut," The study of control and communication in the animal and the machine." Istilah sibernetika digunakan juga oleh Alan Scrivener (2002) dalam bukunya 'A Curriculum for Cybernetics and Systems Theory.' Sebagai berikut "Study of systems which can be mapped using loops (or more complicated looping structures) in the network defining the flow of information. Systems of automatic control will of necessity use at least one loop of information flow providing feedback." Artinya studi mengenai sistem yang bisa dipetakan menggunakan loops (berbagai putaran) atau susunan sistem putaran yang rumit dalam jaringan yang menjelaskan arus informasi. Sistem pengontrol secara otomatis akan bermanfaat, satu putaran informasi minimal akan menghasilkan feedback. Sementara Ludwig Bertalanffy memandang fungsi sibernetik dalam berkomunikasi. "Cybernetics is a theory of control systems based on communication (transfer of information) between systems and environment and within the system, and control (feedback) of the system's function in regard to environment.
Sibernetika adalah teori sistem pengontrol yang didasarkan pada komunikasi (penyampaian informasi) antara sistem dan lingkungan dan antar sistem, pengontrol (feedback) dari sistem berfungsi dengan memperhatikan lingkungan.

Seiring perkembangan teknologi informasi yang diluncurkan oleh para ilmuwan dari Amerika sejak tahun 1966, penggunaan komputer sebagai media untuk menyampaikan informasi berkembang pesat. Teknologi ini juga dimanfaatkan dunia pendidikan terutama guru untuk berkomunikasi sesama relasi, mencari handout (buku materi ajar), menerangkan materi pelajaran atau pelatihan, bahkan untuk mengevaluasi hasil belajar siswa. Prinsip dasar teori sibernetik yaitu menghargai adanya 'perbedaan', bahwa suatu hal akan memiliki perbedaan dengan yang lainnya, atau bahwa sesuatu akan berubah seiring perkembangan waktu. Pembelajaran digambarkan sebagai : INPUT => PROSES => OUTPUT
Teori sibernetik diimplementasikan dalam beberapa pendekatan pengajaran (teaching approach) dan metode pembelajaran, yang sudah banyak diterapkan di Indonesia. Misalnya virtual learning, e-learning, dll.
Beberapa kelebihan teori sibernetik:
§ Setiap orang bisa memilih model pembelajaran yang paling sesuai dengan untuk dirinya, dengan mengakses melalui internet pembelajaran serta modulnya dari berbagai penjuru dunia.
§ Pembelajaran bisa disajikan dengan menarik, interaktif dan komunikatif. Dengan animasi-animasi multimedia dan interferensi audio, siswa tidak akan bosan duduk berjam-jam mempelajari modul yang disajikan.
§ Menganggap dunia sebagai sebuah 'global village', dimana masyarakatnya bisa saling mengenal satu sama lain, bisa saling berkomunikai dengan mudah, dan pembelajaran bisa dilakukan dimana saja tanpa dibatasi ruang dan waktu, sepanjang sarana pembelajaran mendukung.
§ Buku-buku materi ajar atau sumber pembelajaran lainnya bisa diperoleh secara autentik (sesuai aslinya), cepat dan murah.
§ Ketika bertanya atau merespon pertanyaan guru atau instruktur, secara psikologis siswa akan lebih berani mengungkapkanya, karena siswa tidak akan merasa takut salah dan menanggung akibat dari kesalahannya secara langsung.
Steps To an Ecology of Mind
"I think that cybernetics is the biggest bite
out of the fruit of the Tree of Knowledge
that mankind has taken in the last 2000 years.
But most such bites out of the apple have
proven to be rather indigestible --
usually for cybernetic reasons"
-- Gregory Bateson, 1966
"From Versailles to Cybernetics,"
-- <<>>--



Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam proses belajar bahasa dapat ditinjau dari berbagai teori yang kesemuanya masuk akal. Yang terpenting bagi kita dengan adanya teori-teori tersebut dapat membantu kesulitan bagi mereka yang sedang belajar bahasa sehingga dapat memaksimalkan kemampuan mereka seperti yang kita harapkan.
Semoga pertanyaan tentang "bagaimana siswa kita dapat belajar bahasa dengan lancar? " terjawab sudah lewat pendekatan yang mengacu kepada teori yang di kemukakan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

----------. 2000. Teaching by Priciples, an interactive Approach to Language
Brown. H. Dauglas. 2000. Priciples of Language Learning and Teaching 4th edition , New York

Hadley. Alice Omaggio, 1993, Teaching Language 2nd Edition, Heinle and Heinle Publishers, USA

J. S. Atherton. 2005. Learning and Teaching: Humanistic approaches to learning Pedagogy 2th edition , New York


Lefrancois, Guy R. 1995. Theories of Human Learning. California

Pateda, Mansoer, Aspek-aspek Psikolinguistik, 1990, Nusa Indah. Flores.

Ricards Jack C., Renandya. Willy A, 2002. Methodology in Language Teaching; An Anthology of Current Practice. Cambridge University.

Rieken, Elizabeth, 1993. Theaching Language in Context. Heinle & Heinle Publiser, Boston.

Scrivener, Alan B., A, 2002 Curriculum for Cybernetics and Systems

Suharnan, 2005. Psikologi Kognitif. Srikandi. Surabaya

Suryabrata, Sumardi.1998. Psikologi pendidikan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Theoryabs@well.com

UK: File:///C:/DATABaru/Humanistic%20approaches%20learning.htm




















































Rabu, 29 April 2009

PENERAPAN METODE PETA PIKIRAN SEBAGAI UPAYA MEMACU KREATIVITAS SISWA SMA DALAM MENULIS CERITA PENDEK

Oleh: Eri Sarimanah

1. Pendahuluan
Karya sastra muncul dari pengalaman hidup manusia baik pengalaman diri sendiri; pengalamannya dalam berhubungan dengan orang lain, keluarga, dan masyarakat sebagai manusia yang berbudaya; maupun pengalaman iman dengan yang transedens (Illahi). Menurut Rahmanto, ada tiga jenis dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan penulisan karya sastra, yaitu dorongan religius, sosial, dan personal (1988: 13-14).
Dapat disimpulkan bahwa karya sastra tidak bisa lepas dari pengalaman hidup manusia, pengalaman yang terolah, dan ada hubungan yang sangat dialektif antara sastra dan masyarakatnya. Karya sastra dipengaruhi oleh keadaan masyarakat. Di pihak lain karya sastra diharapkan mampu mempengaruhi masyarakat. Dengan demikian karya sastra dapat berperan sebagai sarana pendidikan.
Cerita pendek sebagai salah satu bentuk karya sastra mengungkap berbagai bentuk realita dinamika kehidupan. Cerita pendek adalah karya sastra yang mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsi mengenai kehidupan, menimbulkan hempasan dalam pikiran pembaca, dan mengandung perincian dan insiden-insiden yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca. (Lubis, 1996: 93). Sebagai karya sastra berbentuk prosa, cerita pendek bersifat rekaan fiktif yang isinya tentang penggalan kisah seorang tokoh dalam kehidupannya di satu situasi serta ceritanya relatif pendek. Cerita pendek harus mampu menggugah minat orang untuk membacanya, memberi kearifan hidup, sehingga mampu menggerakkan pembaca untuk menjalani hidup yang lebih baik. Dengan demikian pembelajaran cerpen di sekolah sangat menunjang pendidikan.
Lembaga pendidikan formal, dalam hal ini sekolah melalui kurikulumnya memberikan peluang kepada siswa untuk dapat mengembangkan keterampilan menulis cerita pendek. Hal tersebut dapat dilihat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dengan standar kompetensi: Mampu mengungkapkan pikiran, pendapat, gagasan, dan perasaan dalam berbagai bentuk tulisan sastra melalui menulis puisi, cerpen, dan menulis/ menciptakan karya sastra berdasarkan berbagai latar.
Namun demikian, bukti di lapangan menunjukkan kemampuan siswa dalam menulis cerpen masih dangkal. Hal tersebut dapat dilihat dari sedikitnya karya sastra yang dihasilkan oleh para siswa. Tidak berminatnya siswa dalam belajar sastra.Jika pun ada siswa yang tertarik dengan sastra, mereka kesulitan untuk memulai berkarya..
Faktor yang melatarbelakangi hal tersebut di atas, diantaranya: pertama, karena terbatasnya waktu yang disediakan kurikulum untuk latihan keterampilan menulis. Kedua, bahan-bahan untuk pembelajaran sastra relatif kurang. Ketiga, guru tidak kreatif mengemas model pembelajaran yang dapat menarik minat siswa untuk membangkitkan kreativitas siswa dalam menulis cerpen.
Bagian paling sulit dalam menulis adalah mengetahui apa yang akan ditulis, yaitu apa temanya, dan bagaimana memulainya. Oleh karena itu diperlukan sebuah metode yang dapat menjembatani kesulitan-kesulitan tersebut. Salah satunya adalah melalui peta pikiran. Saat memetakan pikiran dan membiarkan gagasan dan pemikiran siswa menyebar ke seluruh halaman, maka suatu saat siswa akan mencapai suatu tahap yaitu mengetahui dengan benar apa yang akan ia tulis (Hernowo, 2004: 142).
Menurut DePorter dalam Quantum Learning (2004: 177) dikatakan bahwa peta pikiran merupakan pendekatan keseluruhan otak yang akan membuat siapapun mampu membuat catatan yang menyeluruh dalam satu halaman. Dengan menggunakan citra visual dan perangkat grafis lainnya, peta pikiran akan memberikan kesan yang lebih dalam.
Dalam menyusun sebuah cerita pendek, siswa diberi kebebasan untuk mengemukakan pikirannya tanpa dibatasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Melalui peta pikiran, siswa dapat mencatatkan poin-poin utamanya dalam karangannya. Sesuai dengan pernyataan DePorter, alasan pertama untuk mencatat adalah bahwa mencatat meningkatkan daya ingat.
Dengan melihat permasalahan yang ada, penulis bertujuan memberikan alternatif metode pembelajaran yang diharapkan dapat memacu kreativitas siswa dalam menulis cerpen melalui kemampuan membuat peta pikiran dengan desain visual grafis yang menarik selaras dengan uaraian ceritanya. Maka penulis kemas tulisan ini dengan judul Penerapan Metode Peta Pikiran Sebagai Upaya Memacu Kreativitas Siswa dalam Menulis Cerita Pendek.

2. Kajian Teori
2.1 Menulis
Kegiatan menulis merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dalam proses belajar yang dialami siswa selama menuntut ilmu. Oleh karena itu pengajaran keterampilan menulis di sekolah merupakan sarana untuk melatih dan menjadikan siawa kreatif dalam menulis. Melalui keterampilan menulis ini siswa diharapkan dapat menceritakan suatu kisah, menerangkan suatu kegiatan, dan berbagi rasa serta pikiran dengan menggunakan bahasa tulis.
Berdasarkan sifatnya kegiatan menulis merupakan cara berkomunikasi secara tidak langsung, dalam arti kegiatan berkomunikasi dengan tidak bertatap muka. Selain itu menulis juga merupakan kegiatan yang produktif dan ekspresif. Menulis dapat diartikan menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut jika mereka memahami bahasa dan gambaran grafik itu (Tarigan, 1994: 21).
DePorter (2002: 179) mengartikan menulis sebagai aktivitas seluruh otak yang menggunakan belahan otak kanan (emosional) dan belahan otak kiri (logika). Sedangkan Akhadiah (2001: 3) mengartikan menulis sebagai aktivitas komunikasi bahasa dan menyampaikan pesan dengan menggunakan bahasa tulisan sebagai medianya.
Berdasarkan beberapa pendapat para tokoh tentang menulis, maka dapat disimpulkan, bahwa menulis merupakan kegiatan menyampaikan pesan dari penulis kepada pembaca dengan menggunakan bahasa tulis yang melibatkan emosional dan logika.
Menulis sangat bermanfaat bagi kehidupan terutama sebagai alat berkomunikasi. Selain untuk menuangkan gagasan, kegiatan menulis juga dapat melatih seseorang menjadi lebih disiplin dalam berbahasa dan menjadi lebih kreatif. Menulis juga sebagai sarana untuk menggambarkan sesuatu yang telah dilihat, dirasakan, dan diucapkan ke dalam bentuk tulisan.
Penulis yang baik harus dapat mengungkapkan dengan jelas tujuan yang ditulisnya sehingga penyampaian pesan kepada pembaca tercapai. Berkaitan dengan hal itu penulis dituntut untuk memusatkan perhatiannya pada hal yang akan ditulisnya sehingga menghasilkan tulisan yang baik. Melalui menulis seseorang diharapkan memiliki wawasan yang lebih luas dan mendalam mengenai topik yang ditulisnya.

2.2 Cerita Pendek
Cerita Pendek merupakan salah satu karya sastra berbentuk prosa. Bila dilihat dari bentuknya cerpen adalah cerita yang pendek atau singkat, namun bila hanya dilihat dari bentuknya saja kita belum bisa membedakan secara jelas antara cerpen dengan bentuk prosa lainnya.
Menurut Lubis (1996: 93) Cerita pendek adalah karya sastra yang mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsi mengenai kehidupan, menimbulkan hempasan dalam pikiran pembaca, dan mengandung perincian dan insiden-insiden yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca.
Menulis cerpen adalah memindahkan kata-kata dan ucapan ke bentuk tulisan. Jika seorang penulis harus menulis sebuah cerpen, penulis tersebut dituntut untuk dapat mengolah imajinasi, menuliskan semua yang dilihat dan dirasakan disertai imajinasi agar tulisannya menjadi lebih hidup hingga mewarnai perasaan pembacanya. Untuk dapat mengatasi hal tersebut seorang penulis cerpen harus mengetahui proses kreasi atas sebuah karangan dan memahami imajinasi.
Proses kreasi atas sebuah karangan pada dasarnya adalah bagaimana cara pengarang memandang berbagai peristiwa, fakta, dan realitas, lalu mengolahnya melalui imajinasi menjadi sebuah karangan (Hariadi, 2004: 21). Proses kreasi atas karangan ini akan lebih hidup jika penulis mengembangkan imajinasi dalam karangannya. Secara fisik imajinasi adalah kemampuan dahsyat yang dimiliki manusia untuk membayangkan, ini terletak pada otak kanan (Hernowo, 2005: 21). Untuk memahami secara mudah berimajinasi dengan cara membayangkan sesuatu menimpa diri kita dan orang lain kemudian dihayati sampai mendalam kemudian reaksi ini dipindahkan dalam bentuk peta pikiran.
Dalam menulis cerpen akan melibatkan pengolahan imajinasi, menuliskan semua yang bisa dilihat dan dirasakan serta mengolah imajinasi agar pembaca dapat merasakan dan menerima pesan yang disampaikan penulis.
Langkah-langkah menulis cerita pendek adalah sebagai berikut:
a. menentukan tema,
b. mengembangkan ide cerita (tema, tokoh, latar, alur, amanat)
c. konsentrasi
d. menulis dengan memperhatikan peraturan menulis.
Langkah-langkah ini akan penulis variasikan dengan diterapkannya metode peta pikiran dalam proses penulisan cerpen.
Adapun kriteria penilaian menulis cerpen ada dalam lampiran.

2.3 Peta Pikiran
Mencatat merupakan salah satu keterampilan dasar yang sangat penting dimiliki oleh setiap orang yang ingin meningkatkan keterampilan menulisnya. Kegiatan mencatat yang sering kita lakukan yaitu dengan menggunakan catatan tradisional atau catatan linear. Catatan tradisional ini merupakan cara mencatat hanya dalam bentuk tulisan-tulisan, menggunakan satu warna tinta, dan menyita banyak waktu. Namun ada cara mencatat yang efektif yaitu dengan menggunakan mind mapping atau peta pikiran.
Kegiatan mencatat dengan menggunakan peta pikiran ini sebagai latihan yang dapat mengoptimalkan fungsi belahan otak kiri dan otak kanan, yang kemudian dalam aplikasinya sangat membantu memahami masalah dengan cepat karena telah terpetakan. Dalam membuat peta pikiran kita bebas memberikan warna, gambar, dan simbol sehingga dapat menuangkan seluruh kemampuan imajinasi yang kita miliki.
Metode mencatat yang baik harus membantu kita mengingat perkataan dan bacaan, meningkatkan pemahaman terhadap materi, membantu mengorganisasikan materi, dan membarikan wawasan baru. Peta pikitan adalah metode mencatat kreatif yang memudahkan kita mengingat banyak informasi (Bobby DePorter, 2004: 175). Menurut Buzan (2005, 2004: 75) peta pikiran merupakan alat yang paling hebat yang membantu otak berpikir secara teratur. Peta pikiran merupakan peta perjalanan yang hebat bagi ingatan, dengan memberi kemudahan kepada kita dalam mengatur segala fakta dan hasil pemikiran dengan cara sedemikian rupa sehingga cara kerja alami otak akan dilibatkan dari awal.
Agar terdorong untuk menggunakan peta pikiran, kita perlu mengetahui manfaat dari peta pikiran yang diantaranya adalah menyenangkan, imajinasi dan kreativitas kita tidak terbatas. Dalam hal menulis cerpen, menjadikan pembuatan dan peninjauan ulang catatan lebih menyenangkan (De Porter, 2005: 172).
Dalam membuat peta pikiran, hendaknya menggunakan pulpen warna-warni dan mulailah menulis di bagian tengah kertas. Kalau bisa gunakan kertas secara melebar untuk mendapatkan lebih banyak tempat. Adapun langkah-langkah membuat peta pikiran menurut Buzan (2005: 21) adalah sebagai berikut:
a. Mulailah dari bagian tengah permukaan secarik kertas kosong yang diletakkan dalam posisi memanjang.
b. Gunakan sebuah gambar untuk gagasan sentral.
c. Gunakan warna pada seluruh peta pikiran, dengan membedakan penggunaan warna pada masing-masing cabang.
d. Hubungkan cabang-cabang utama ke gambar sentral dan hubungkan cabang-cabang tingkat kedua dan ketiga pada tingkat pertama dan kedua, dan seterusnya.
e. Buatlah cabang-cabang peta pikiran berbentuk melengkung bukannya garis lurus.
f. Gunakan satu kata kunci perbaris.
g. Gunakan gambar di seluruh peta pikiran Anda.

3. Silabus Pembelajaran
Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Satuan Pendidikan : SMA
Tema Pokok : Menulis Cerpen
A. Standar Kompetensi
Mampu mengungkapkan pikiran, pendapat, gagasan, dan perasaan dalam berbagai bentuk tulisan sastra melalui menulis puisi dan cerpen, dan menulis/menciptakan karya sastra berdasarkan berbagai seting atau latar.
B. Kompetensi Dasar
Menulis berbagai karya sastra puisi dan cerpen (dalam tulisan ini, khusus cerpen)
C.Indikator
· Menentukan tema, tokoh, latar, alur, dan amanat cerpen.
· Megembangkan ide dalam bentuk peta pikiran
· Mengembangkan ide-ide dari peta pikiran ke dalam bentuk cerpen dengan memperhatikan pilihan kata, tanda baca, dan ejaan.
D.Langkah Pembelajaran
· Prakegiatan
Ø Guru mengondisikan siswa dengan meminta menyiapkan perangkat untuk pembuatan peta pikiran dan menulis cerpen. (kertas putih polos, pulpen warna-warni, alat tulis lainnya jika diperlukan)
Ø Jika mungkin posisi tempat duduk membentuk setengah lingkaran. Atau bisa juga dengan mengambil tempat duduk secara bebas, bisa di bawah atau di bangku.
· Kegiatan Awal
Guru menyampaikan tujuan, baik dari proses maupun hasil yang harus dicapai siswa dalam pembelajaran.
Guru menjelaskan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam proses belajar mengajar.
· Kegiatan Inti
Ø Siswa diberi contoh cerpen, kemudian mengapresiasinya.
Ø Kepada siswa diperlihatkan contoh peta pikiran.
Ø Siswa diminta untuk membuat peta pikiran berkenaan dengan cerpen yang akan dibuatnya dengan langkah-langkah sebagai berikut:
v Mulailah dari bagian tengah permukaan secarik kertas kosong yang diletakkan dalam posisi memanjang.
v Gunakan sebuah gambar untuk gagasan sentral.
v Gunakan warna pada seluruh peta pikiran, dengan membedakan penggunaan warna pada masing-masing cabang, dalam hal ini unsur intrinsik cerpen.
v Hubungkan cabang-cabang utama ke gambar sentral dan hubungkan cabang-cabang tingkat kedua dan ketiga pada tingkat pertama dan kedua, dan seterusnya.
v Buatlah cabang-cabang peta pikiran berbentuk melengkung bukannya garis lurus.
v Gunakan satu kata kunci perbaris.
v Gunakan gambar di seluruh peta pikiran Anda.
Ø Guru memantau aktivitas siswa, dan membimbingnya jika siswa mendapat kesulitan.
Ø Setelah selesai membuat peta pikiran siswa diminta menulis cerita pendek dengan mengoptimalkan pengimajian dari peta pikiran, kemudian menulis cerpen sesuai aturan penulisan.
· Kegiatan Akhir
Ø Guru bersama-sama siswa membahas hasil pekerjaan siswa, dan menyimpulkan hasil pembelajaran.
Ø Guru memberikan tes (instrumen terlampir).
E. Sarana dan Sumber Belajar
· Alat peraga: contoh peta pikiran, contoh cerpen.
F. Penilaian
· Tes tertulis membuat cerpen.
· Kriteria penilaian terlampir.

4. Penutup
Terdapat banyak ragam kegiatan belajar sastra, namun sedikit model yang dapat memacu kreativitas dan membangkitkan minat siswa untuk berkarya. Hal ini tentu saja harus dibarengi dengan keinginan dan kemauan guru dalam mendesain pembelajaran.Guru harus kreatif dalam mengemas pembelajaran sastra.
Metode peta pikiran merupakan salah satu model yang dapat dikembangkan di sekolah dalam pembelajaran menulis cerpen. Melalui metode peta pikiran siswa di\ajak untuk menjelajahi secara menyeluruh apa yang akan dituangkannya dalam bentuk visual grafis yang penuh gambar dan aneka warna. Hal ini tentu saja akan membuat siswa bergairah untuk memulai penulisannya. Metode peta pikiran dalam menulis cerpen akan menjadi pemacu dan penggugah dalam pembelajaran sastra yang selama ini sangat kurang diminati.



Daptar Acuan
Akhadiah, Sabarti. 1986. Menulis I. Jakarta: Universitas Terbuka.
Buzan, Toni. 2005. Mind Map untuk Meningkatkan Kreativitas.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Deporter, Bobbi., dan Mike Hernacki. 1999. Quantum Learning:Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.
Hernowo. 2004. Quantum Writing: Cara Cepat Nan Bermanfaat Untuk Merangsang Munculnya Potensi Menulis/Editor.Bandung: Mizan Learning Center.
Rahmanto, Bernadus. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Tarigan, Henry Guntur. 1994. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.












Sabtu, 25 April 2009

MODEL PEMBELAJARAN CERITA PENDEK YANG APRESIATIF


Oleh: Eri Sarimanah

1. Pendahuluan
Konon, pembelajaran sastra di sekolah berhadapan dengan berbagai masalah serius. Maman S Mahayana dalam bukunya Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia mengemukakan pernyataan yang cukup mencengangkan:
Begitu banyak guru yang terlanjur terjebak pada cara pengkajian sastra yang agak menyesatkan. Lalu, mereka menularkannya pada murid-muridnya. Maka berantailah ketersesatan dalam pengkajian sastra. Pengkajian sastra dan pemahaman terhadapnya, berkutat pada teks yang diperlakukan sebagai artefak beku, kerontang dan artifisial. Segala konsepsi tentang unsur intrinsik menjadi senjata pamungkas kekayaan-sosiokultural yang mendekam di dalam teks.

Pernyataan di atas kiranya patut diperhatikan oleh para pengajar untuk mempertimbangkan kembali upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pengajaran apresiasi sastra di sekolah yang ditengarai kurang apresiatif. Pembelajaran sastra cenderung kurang berani menggali teks dalam konteks yang lebih luas. Padahal sangatlah mungkin mengajak pelajar/ pembaca untuk dibawa ke luar dunia teks, dan dibawa masuk menyelami unsur pembangun dari luar teks yang antara lain, latar belakang pengarang, gaya penulisan, dan gejala/situasi sosial tertentu.
Kita telah sepakat bahwa dalam proses lahirnya sebuah karya sastra banyak unsur yang mempengaruhi terutama dengan konteks masyarakat tempat lahirnya karya sastra tersebut. Dalam hubungannya dengan masyarakat, kesusastraan dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial yang langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat yang berlaku dan dianut masyarakat tertentu. Gejala sosial itu oleh pengarang diolah, direkayasa, dan dirangkaikan menjadi struktur karya yang terpadu dan memiliki otonomi sebagai sebuah teks. Salah satu bentuk karya sastra tersebut adalah cerita pendek.
Cerita pendek adalah salah satu jenis karya sastra yang berbentuk prosa fiksi yang bentuknya relatif pendek; tidak sepanjang novel. Namun demikian “kependekan” sebuah cerita pendek itu tidak berarti dangkal dalam hal maknanya. Sebuah cerita pendek yang panjangnya “hanya” sekitar 3-4 halaman dapat mengandung makna yang dalam yang menghabiskan waktu berhari-hari untuk memahaminya. Unsur-unsur pembangun cerita pendek secara garis besar dibedakan menjadi dua; (1) unsur pembangun dari dalam berupa alur, tokoh dan penokohan, setting, sudut pandang penceritaan, bahasa, dan tema, (2) unsur pembangun dari luar antara lain, latar belakang pengarang, gaya penulisan, dan gejala/situasi sosial tertentu.
Seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin majemuk baik dari sudut pola pikir maupun pola perilaku, gejala sosial yang ditangkap oleh para pengarang cerita pendek itu semakin beragam. Keberagaman ini, oleh pengarang diwujudkan dalam berbagai bentuk kreativitas penulisan cerita pendek yang diharapkan dapat berperan dalam proses mengubah, membangun, dan mengembangkan masyarakat, termasuk di dalamnya mempengaruhi perubahan nilai, norma, dan pola bermasyarakat. Mereka mencoba berperan dalam perubahan sosial tersebut dengan gaya khas cerita pendek yang mereka hasilkan. Mereka secara terus-menerus mencoba melihat, mencermati, dan menganalisis dinamika sosial dan fenomena sosial yang terjadi dan sekaligus mempengaruhinya dengan ide-ide mereka yang dibungkus dalam kekuatan kata yang mereka rangkaikan.
Sebagai sebuah bangsa yang ingin maju perlulah kiranya berkenalan dengan kebudayaan dan kesusastraan asing. Mengenal dan memahami kebudayaan dan kesuastraan asing sesungguhnya tidak sekadar menambah wawasan, membuka cakrawala baru tentang kebudayaan dan tata hehidupan di belahan dunia lain, mengilhami untuk menghasilkan karya yang mirip atau punya kesamaan, tetapi juga melebarkan peluang terjadinya akulturasi, adaptasi, bahkan juga adopsi. Ini sangatlah beralasan mengingat kekayaan karya sastra akan meningkat dan terwarnai dengan bersikap terbuka terhadap sastra dan budaya asing, yang tentu saja melalui proses penyaringan yang disesuaikan dengan kondisi sosio kultural.
Kesusastraan banyak dipengaruhi dinamika perubahan yang terjadi dimasyarakatnya. Sisi kehidupan manusia, kesantunan sebuah masyarakat, peperangan, konflik ideologi, traumatik mewarnai tulisan-tulisan para pengarang di lingkungannya. Perkembangan yang terjadi dihadirkan melalui karya-karya sastra.
Untuk memahami dinamika dan fenomena sosial yang terwujud dalam sebuah cerita pendek tersebut, diperlukan proses apresiasi. Dengan langkah ini diharapkan pembelajar dapat mengikuti perubahan sosial yang terjadi. Sebagai langkah awal proses ini, diperlukannya pengenalan apresiasi di sekolah-sekolah.
Untuk memahami dinamika dan fenomena sosial yang terwujud dalam sebuah cerita pendek tersebut, diperlukan proses apresiasi. Dengan langkah ini diharapkan pembelajar dapat mengikuti perubahan sosial yang terjadi. Sebagai langkah awal proses ini, diperlukannya pengenalan apresiasi di sekolah-sekolah.
Sekolah, sebagai salah satu lembaga yang ada dalam masyarakat, diharapkan turut berperan dalam pengembangan masyarakat. Di lembaga ini pulalah, pengarang dengan kekhasan mereka pada karya-karya cerpennya, diperkenalkan kepada pembelajar lewat pembelajaran apresiasi sastra.
Salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mencapai beberapa tujuan di atas adalah mendorong pembelajar untuk mengapresiasi karya sastra. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana apresiasi sastra itu dapat dipergunakan pengajar untuk membantu pembelajar memahami perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat?

2. Pembelajaran Cerita Pendek
Pembelajaran sastra di sekolah dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pembelajar dalam mengapresiasikan suatu karya sastra. Dari proses apresiasi ini, diharapkan muncul daya nalar, daya kritis, dan daya khayal dari diri pembelajar. Penalaran yang runtut dan didukung oleh ketajaman analisis akan membantu pembelajar untuk mempunyai kepekaan terhadap gejala atau fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Hal ini diharapkan dapat terwujud karena dalam kurikulum pembelajaran sastra, tertera pembelajaran sastra yang memang diarahkan pada kegiatan apresiasi sastra sekaligus pemahaman sosial budaya yang terkandung dalam karya sastra termasuk di dalamnya cerita pendek. Di dalam KTSP telah diketengahkan beberapa butir pembelajaran sastra yang bertujuan agar pembelajar (1) mampu memahami dan menghayati karya sastra, (2) mampu menulis prosa, puisi, dan drama, (3) mampu menggali nilai-nilai moral, sosial dan budaya dalam karya sastra Indonesia dan karya sastra terjemahan, (4) mampu menulis krestif, (5) mampu membuat tanggapan terhadap tulisan kreatif, dan mampu membuat kritik dan esai sastra.
Berkaitan dengan pembelajaran sastra ini, Rahmanto menyatakan bahwa pembelajaran sastra dapat membangun dan membantu pendidikan secara utuh bila pembelajaran itu selain dapat meningkatkan keterampilan berbahasa juga dapat mengembangkan cipta rasa, menunjang pembentukan watak pembelajar, dan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman budaya. Tujuan-tujuan itu dapat dicapai setelah pembelajar menjalani proses apresiasi terhadap karya-karya sastra.
Sebuah alternatif usulan langkah kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan apresiasi siswa terhadap cerpen, yaitu dengan menjalani tiga langkah dalam proses pembelajarannya. Langkah pertama adalah keterlibatan jiwa. Langkah kedua adalah pemahaman dan penghargaan atas penguasaan sastrawan dalam menyajikan pengalaman dalam karya sastra. Langkah ketiga adalah langkah analisis. Berikut diuraikan langkah-langkah pembelajaannya.
Langkah pertama adalah keterlibatan jiwa. Dalam langkah ini pembelajar diharapkan dapat memahami masalah yang diangkat sastrawan/ penulis dalam karya sastra. Selain itu, pembelajar diharapkan dapat merasakan perasaan yang dimunculkan atau yang dialami tokoh-tokohnya sekaligus sebagai usaha membayangkan dunia yang dikreasikan oleh sastrawan. Hal penting yang perlu diketahui oleh pembelajar dalam tahap ini adalah penerapan nilai-nilai estetika sastra pada pengalaman hidup yang tertuang dalam bahasa. Dengan kata lain, tahap ini diarahkan pada pemahaman atas penerapan unsur-unsur intrinsik cerita pendek.
Langkah kedua adalah pemahaman dan penghargaan atas penguasaan sastrawan dalam menyajikan pengalaman dalam karya sastra. Pada langkah ini pembelajar diharapkan mengetahui dan memahami cara atau teknik sastrawan menerapkan asas keserasian, keutuhan, dan tekanan pada pengalamannya sehingga lahir suatu karya dan cara mereka memilih, mengolah, dan menyusun lambang-lambang yang dipakai dalam karyanya. Langkah ini memungkinkan pembelajar untuk bersikap kritis terhadap setiap karya sastra yang dihasilkan pengarang sekaligus menguji kepekaan pembelajar dalam menghubungkan dua fenomena yaitu fenomena dalam karya sastra dan fenomena yang terjadi dalam masyarakat nyata.
Langkah ketiga adalah langkah analisis. Pada langkah ini pembelajar diharapkan dapat mempermasalahkan fakta-fakta yang tertuang dalam karya sastra dan menemukan hubungan fakta-fakta tersebut dengan realitas kehidupan yang ada dalam kehidupan mereka. Dalam langkah inilah nantinya, pembelajar dapat terbantu menemukan kesesuaian dunia rekaan dalam karya sastra dengan dunia nyata dalam kehidupan sekaligus memahami perubahan yang terjadi.
Langkah-langkah apresiasi di atas dapat membantu pembelajar mengapresiasi secara optimal bila dalam pelaksanaannya mengikuti asas kewajaran dan keterpaduan. Asas kewajaran memungkinkan dijalaninya proses apresiasi sesuai dengan kesiapan mental pembelajar, termasuk juga dalam pemilihan karya sastra yang akan diparesiasi. Asas keterpaduan menyarankan keterkaitan langkah-langkah apresiasi yang dilakukan. Langkah-langkah itu tidak boleh dipisah-pisah karena merupakan satu kesatuan proses.

3. Dari Pembelajaran Cerpen ke Pemahaman Situasi Masyarakat
Setelah di atas diuraikan perihal pembelajaran sastra dan perubahan sosial, sekarang akan diuraikan bagaimana pembelajaran apresiasi sastra dapat dipergunakan untuk memahami perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Nurgiyantoro menyatakan bahwa sastra merupakan salah satu sumber penting dalam pemahaman budaya. Hal ini dapat dirunut karena dalam karya sastra tercermin pandangan penulisnya yang terbentuk dan dipengaruhi oleh kebiasaan hidup yang dijalaninya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain penulis karya sastra merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakatnya dan diantara keduanya terjadi hubungan timbal balik dalam penciptaan karya sastra.
Sehubungan dengan timbal balik antara pengarang dan masyarakat patut dikemukakan di sini pendapat Hardjana bahwa semua pandangan, sikap, dan nilai-nilai, termasuk di dalamnya kebutuhan-kebutuhan seseorang, termasuk juga pengarang, ditimba dari sumber tata kemasyarakatn yang ada dan berlaku dalam masyarakat dan komunitas. Jadi jelaslah hubungan timbal balik antara masyarakat dan pengarang keduanya saling mempengaruhi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Faruk, mengutip pandangan Marx, bahwa struktur sosial suatu masyarakat juga lembaga di dalamnya, moralitasnya, dan kesuasastraannya ditentukan oleh kondisi produktif kehidupan anggota masyarakatnya sendiri termasuk pengarang di dalamnya. Ini membawa implikasi bahwa semakin produktif pengarang mencipta karya sastra dan diapresiasi masyarakat pembacanya, ini merupakan indikasi dinamisnya struktur sosial masyarakat yang bersangkutan.
Bertolak dari hal tersebut di atas, dapatlah kiranya pembelajaran cerita pendek digunakan sebagai titik tolak pemahaman perubahan sosial yang terjadi mengingat cerita pendek lahir atau merupakan produk dari pengarang yang di dalamnya berisi berbagai masukan yang diperoleh dari kenyataan yang terpampang dalam kehidupan dan ditarik ke dalam bingkai permenungan pengarang dan akhirnya lahirlah sebuah karya.
Sebagai langkah awal dalam proses apresiasi seperti yang dimaksud di atas, perlulah kiranya adanya kecermatan dalam pemilihan cerita pendek. Karya-karya yang dipilih untuk diapresiasi pembelajar hendaknya karya yang mengandung perubahan-perubahan nilai, norma, dan tata kehidupan yang ditawarkan oleh pengarang. Cerita pendek yang dipilih hendaknya diupayakan sesuai dengan tingkat perkembangan usia dan pola pikir pembelajar sehingga, pembelajar dapat mengetahui dan memahami perubahan sosial yang terjadi atau diinginkan atau yang ditawarkan oleh pengarangnya.

4. Penerapan Langkah-langkah Apresiasi
Pada bagian ini akan dipaparkan contoh penerapan langkah-langkah apresiasi cerita pendek yang telah dijelaskan di muka dalam pembelajaran di kelas. Cerpen yang akan diapresiasi berjudul Dinihari ke Garis Depan karya Bang Hyun Suk seorang cerpenis terkenal di Korea. Cerita pendek ini mengisahkan suatu kejadian yang mencekam tentang aksi mogok para karyawan pabrik.
4.1 Langkah pertama
Langkah pertama dalam apresiasi cerpen ini adalah menumbuhkan keterlibatan jiwa pembelajar. Hal ini bisa ditempuh dengan mengajak pembelajar menemukan masalah yang ada dalam cerpen itu. Apakah masalah itu terjadi karena penguasa pabrik telah berlaku sewenang-wenang dan tidak manusiawi? Apakah para pekerja telah menunaikan tugasnya dengan benar? Ataukah ada hak-hak atau bagian yang tidak dipenuhi oleh penguasa pabrik? Untuk menemukan masalahnya, kita bimbing pembelajar untuk ikut merasakan situasi yang ada dalam cerpen itu . Kita ajak mereka untuk masuk dalam suatu pengandaian dengan menuntun pembelajar dengan pertanyaan-pertanyaan: bagaimana perasaan Anda bila menjadi pekerja pabrik? Langkah-langkah apa yang harus diambil untuk mengatasi persoalan itu? Atau pertanyaan: bagaimana perasaan Anda bila Anda menjadi penguasa pabrik?Apakah Anda akan marah, bertanya-tanya, protes, atau menuntut jika karyawan menuntut haknya? Bila ini benar-benar terjadi, ini merupakan gejala yang bagus karena dinamika kelas telah tercipta dan ini memudahkan pengajar untuk menggali informasi atau tanggapan dari pembelajar untuk mendapatkan kesan umum terhadap cerita pendek tersebut.
4.2 Langkah kedua
Apabila langkah pertama sudah selesai, pengajar bisa membantu pembelajar untuk masuk ke langkah kedua yaitu mencermati cara-cara pengarang dalam menyajikan cerita pendek itu. Apakah Bang Hyun Suk sebagai pengarang sudah menggambarkan realitas yang tepat dalam cerpen itu? Bagaimana Bang Hyun Suk memilih kata, ungkapan, dan kalimat dalam cerpennya; apakah kata dan ungkapannya sulit dan tidak biasanya bagi pembelajar; apakah ia menggunakan kalimat yang panjang dan kalimat bertele-tele atau kalimat yang sederhana tapi penuh dengan makna?
Pengajar dapat meminta pembelajar untuk menunjukkan beberapa contoh kata, ungkapan, dan kalimat yang menurut mereka sulit dipahami atau yang menarik perhatian mereka dan membahasnya bersama. Pada langkah ini pula, pengajar dapat meminta pembelajar untuk menemukan simbol-simbol yang dipakai Bang Hyun Suk dan mencoba menafsirkan lambang atau simbol tersebut. Di akhir langkah kedua ini, pebelajar diminta mengutarakan pendapat/kesan mereka terhadap cara penyajian Bang Hyun Suk dalam cerpennya dan seberapa jauh cara penyajian cerita tersebut membantu pembelajar memahami cerpen Dinihari ke Garis Depan. Tukar informasi dan pengalaman dalam langkah ini akan membuat situasi kelas lebih hidup dan dinamis serta merangsang pembelajar untuk berani mengungkapkan perasaan dan pendapatnya.
4.3 Langkah ketiga
Langkah ketiga adalah proses menemukan hubungan pengalaman pembelajar yang diperoleh dari membaca cerpen Dinihari ke Garis Depan dengan pengalaman pembelajar dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil-hasil apresiasi di langkah pertama dan kedua akan sangat membantu pembelajar untuk memasuki langkah ketiga ini karena mereka tinggal menemukan titik temu hal-hal yang mereka temukan pada tahap sebelumnya dengan kehidupan keseharian mereka. Apakah mungkin peristiwa yang terjadi dalam cerpen itu bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari? Apabila itu bisa terjadi dalam hidup nyata, bagaimana seharusnya mereka bersikap?
Pembelajar juga dapat kita bantu untuk sampai pada proses mempertanyakan kembali apa sebenarnya yang hendak disampaikan Bang Hyun Suk dalam cerpen ini, nilai-nilai moral apa yang bisa diambil dari apresiasi cerpen ini, atau nilai-nilai sosial apa yang harus ada bila peristiwa seperti dalam cerpen Dinihari ke Garis Depan benar-benar terjadi?
Langkah ketiga ini bisa membantu pembelajar untuk lebih peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekelilingnya. Sebagai contoh, apakah mereka peka dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan toleransi antarmasyarakat di tempat mereka tinggal? Apabila kepekaan itu sudah mulai ada dalam diri mereka, maka nilai-nilai sosial dan nilai-nilai moral yang ada dalam cerpen tersebut dapat membantu mereka dalam menjalani peran mereka baik di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat.
Bila ketiga langkah apresiasi sudah dijalankan, pengajar bisa mendapatkan umpan balik dari pelaksanaan proses tersebut. Umpan balik ini sangat penting untuk mengetahui tingkat pemahaman pembelajar dalam setiap langkah apresiasi dan pemahaman cerita pendek Dinihari ke Garis Depan .Teknik untuk mendapat umpan balik ini bisa dilakukan dengan cara, (1) meminta pembelajar menyampaikan hasil apresiasi secara lisan dalam suatu diskusi, (2) meminta para pembelajar menuliskan hasil apresiasinya baik secara individual maupun kelompok, (3) meminta pembelajar menukarkan hasil apresiasinya atas cerpen itu dengan milik temannya sehingga mereka akan semakin diperkaya oleh berbagai masukan dari temannya sekaligus melatih mereka untuk menghargai hasil karya teman mereka, (4) pengajar memberikan masukan, naik lisan maupun tertulis terhadap hasil karya pembelajar sehingga mereka mendapat suatu penguatan (reinforcement) atas hasil apresiasi mereka. Masukan ini dapat ditekankan pada kemampuan pembelajar dalam menghubungkan secara logis tiap aspek yang ada dalam cerpen Dinihari ke Garis Depan.

5. Penutup
Sebagai catatan akhir dari tulisan ini patutlah kiranya dimunculkan beberapa hal di sini bahwa pembelajaran cerpen dapat dimulai dengan menumbuhkan rasa kecintaan pembelajar terhadap karya sastra cerpen yang di dalamnya termuat nilai-nilai, norma-norma, “potret” masyarakat yang ditangkap oleh pengarang. Untuk menjalani proses tersebut, perlulah kiranya ditempuh langkah apresiasi yang dilaksanakan secara wajar dan berkesinambungan dengan cerita pendek yang sesuai dengan tingkat perkembangan pembelajar.
Pemilihan bahan yang tepat sasaran akan sangat membantu pelaksanaan langkah-langkah apresiasi. Untuk itu, penting kiranya juga bila pengajar mempunyai koleksi cerita pendek tidak hanya karya-karya bangsa Indonesia tetapi juga karya-karya penulis asing diantaranya Korea. Dengan begitu pengajar punya banyak pilihan untuk aktivitas pembelajarannya. Selain itu, perlu juga memberi kesempatan kepada pembelajar untuk memilih cerita pendek, membacanya, dan mengapresiasikannya. Dengan terlewatinya seluruh rangkaian proses tersebut diharapkan pembelajar semakin peka terhadap gejala-gejala sosial dan perubahan dinamika masyarakat tempat mereka menjalani kehidupannya.

Pustaka Acuan
Bang Hyun Suk, Koh Young Hun,dkk. 2007. Laut dan Kupu-kupu (terjemahan) . Jakarta: Gramedia

Faruk, H.T. 1994. Sosiologi Sastra .Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hardjana, Andre. 1991. Kritik Sastra: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia
Luxemburg, J.P,dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia
Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Nurgiantoro, Burhan. 1995. “Sastra Sebagai Pemahaman Antarbudaya” dalam Cakrawala Pendidkan No. 3, tahun XIV November.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius

ANALISIS STRUKTURAL & MIMETIK

TINJAUAN STRUKTURAL DAN MIMETIK
PUISI PAMPLET CINTA KARYA W. S. RENDRA

oleh
Eri Sarimanah


Abstract

The study on the structure and mimes of the poem Pamplet Cinta by W. S. Rendra is aimed at identifying the use of poetical language, its form, and its content. In addition, it identifies the integrated aspect to form goal and esthetic poems.
The research method applied is a descriptive method to describe the poem structurally and mimetically with library research and analysis technique.
the result shows that: the dictions selected accurately by the poet sevene and forlorn atmosphere visual descrption was even made the poem more lively.
personification and hyperbole are significant in the poem. the rhetoric happens in the repetition of ellipsis and syllabification. the poem is in the form of lines, verses, and rhymes a well orchestrated to form an esthetic poem.
the content covers emotion and ideas; the structural aspects are well integrated, while the mimetic aspects cover social and love.

Kata Kunci
Diksi : Pilihan kata
Citraan : Gambaran yang timbul seetelah membaca karya sastra
Mimetik : Hal yang berhubungan dengan makna dan lambang
Enjabemen : Peloncatan baris


I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Puisi sebagai salah satu karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi dapat dikaji dari struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Dapat pula puisi dikaji dari jenis-jenis atau ragam-ragamnya, mengingat ada beragam-ragam puisi. Begitu juga puisi dapat dikaji dari sudut kesejarahannya, mengingat bahwa sepanjang sejarahnya, dari waktu ke waktu puisi selalu ditulis dan selalu dibaca orang (A.Teeuw, 1980: 12).
Pemahaman puisi dapat ditinjau dari beberapa aspek. Hal ini tergantung pada isi puisi yang dibahas. Kehadiran puisi untuk dinikmati pembaca, tetapi tidak terlepas dari latar belakang penyairnya serta keadaan pada zamannya. Oleh karena itu, puisi perlu ditinjau dari segi struktural dan segi memetik atau dikaitkan dengan kenyataan. Pamplet Cinta merupakan salah satu judul puisi karangan W.S. Rendra yang melukiskan masalah-masalah sosial dan cinta. Pengarang dengan teliti memilih kata-kata denotatif dan konotatif, sehingga mampu mencerminkan pengalaman hidupnya secara baik.
Masalah sosial dan cinta menjadi objek dalam puisi “Pamplet Cinta” dari unsur struktural dan memetik. Dengan harapan dapat mengetahui secara mendalam tentang isi dan bobot nilai kesusastraannya.
Memahami atau menganalisis puisi pada hakikatnya adalah membaca kehidupan. Karena puisi dapat mencerminkan corak kehidupan masyarakat pada zamannya, dan mampu menjelaskan harkat, dan martabat manusia secara utuh, serta berisikan masalah kehidupan yang universal.
Sampai saat ini penelitian mengenai pemahaman analisis struktur puisi sangat kurang, jika dibandingkan dengan analisis struktur prosa. Oleh karena itu peneliti ingin memahami struktur puisi “Pamplet Cinta” karya W.S. Rendra yang terdapat dalam kumpulan puisinya Potret Pembangunan dalam Puisi.



2. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakan penelitian terhadap puisi “Pampet Cinta” karya W.S. Rendra adalah:
Untuk mengetahui pemanfaatan unsur-unsur pembangun seperti: diksi, citraan, bahasa kias, sarana retorika, bait dan baris, nilai bunyi, persajakan, narasi, emosi, dan ide dalam puisi “Pamplet Cinta” karya W.S. Rendra.
Untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan dan keharmonisan di antara unsur-unsur pembangun dari dalam puisi, sehingga puisi itu dapat dikatakan sublim.
Untuk mengetahui seberapa jauh hubungan antara puisi “Pamplet Cinta” dengan kenyataan.
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat membantu penikmat dalam memahami puisi “Pamplet Cinta” karya W.S. Rendra, serta dapat membantu penikmat dalam memilih karya sastra yang bernilai tinggi.

a. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian, maka masalah yang timbul adalah:
Bagaimana diksi, citraan, bahasa kias, sarana retorika, bait dan baris, nilai bunyi, persajakan, narasi, emosi, dan ide dalam puisi “Pamplet Cinta” karya W.S. Rendra?
Apakah puisi tersebut dapat digolongkan pada karya sastra yang bernilai seni?
Bagaimana hubungan antara puisi “Pamplet Cinta” dengan kenyataan?


b. Kerangka Teori
Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural, yaitu suatu metode atau cara pencarian terhadap suatu fakta yang sasarannya tidak hanya ditujukan kepada salah satu unsur sebagai individu yang berdiri sendiri di luar kesatuannya, melainkan ditujukan pula kepada hubungan antar unsurnya (Fokkema, 1977: 21). Analisis struktural merupakan tugas prioritas atau tugas pendahuluan sebab karya sastra mempunyai kebulatan makna instrinsik yang dapat digali dari karya itu sendiri (A.Teeuw, 1984: 135).
Pendekatan struktural yang dipergunakan, akan menghasilkan gambaran yang jelas terhadap diksi, citraan, bahasa kias, sarana retorika, bait dan baris, nilai bunyi, persajakan, narasi, emosi, dan ide yang dipergunakan W.S. Rendra dalam menulis puisinya “Pamplet Cinta”. Di samping itu juga dapat diketahui keterkaitan dan kesatuan yang harmonis tentang pemanfaatan unsur-unsur yang mendukung terciptanya puisi tersebut.
Karya sastra yang baik dan bernilai, hendaknya mengandung lima tingkatan pengalaman jiwa, seperti yang dikatakan oleh Subagio Sastrowardoyo (Rachmat Djoko Pradopo, 1967: 35). Yaitu tingkatan anorganis, tingkatan vegetatif, tingkatan animal, tingkatan human, dan tingkatan religius atau filosofis.
Apabila kelima tingkatan tersebut di atas terkandung dalam puisi “Pamplet Cinta” karya W.S. Rendra, maka puisi tersebut dapat digolongkan dalam karya yang bernilai sastra.

c. Metode dan Teknik Penelitian
Riset yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah riset perpustakaan, artinya mempergunakan buku-buku sebagai data primer dan data skunder, yaitu sebagai pedoman dalam pembahasan ini.
Metode pembahasan yang dipergunakan adalah metode analisis, yaitu cara-cara mengkaji atau menganalisis unsur struktural puisi “Pamplet Cinta” karya W.S. Rendra yang dijadikan objek pembahasan untuk mengetahui diksi, citraan, bahasa kias, sarana retorika, bait dan baris, nilai budaya, persajakan, emosi, ide, serta pengalaman jiwa yang dipergunakan oleh pengarangnya.
Langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: pertama mengemukakan biografi pengarang dan hasil karyanya; kedua menganalisis bahasa puisi seperti: diksi, citraan, kiasan, sarana retorika; ketiga menganalisis bentuk puisi: bait dan baris, nilai bunyi, persajakan; keempat menganalisis isi puisi: narasi, emosi, dan ide; serta kelima menganalisis unsur mimetik puisi.
Untuk memudahkan menganalisis data, puisi “Pamplet Cinta” disingkat PC.

II. RIWAYAT HIDUP DAN KARYA PENGARANG

Puisi merupakan hasil cipta pengarang berdasarkan kemampuan angannya. Pengarang yang baik, yaitu pengarang yang dapat memberikan arti sesuatu dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengarang berusaha dapat memahami dan menguraikan persoalan kehidupan manusia melalui hasil ciptaannya. Persoalan yang ditampilkan menyangkut masalah yang universal. Dengan demikian jelaslah bahwa karya sastra khususnya puisi dapat menambah pengetahuan pembaca dan menambah kekayaan batin. Dalam pembahasan puisi perlu diketahui riwayat hidup pengarang sebagai bahan pembantu dalam menganalisis unsur struktural.
M.S. Hutagalung berpendapat, “… biasanya ciptaan sastra adalah rekaman dari perjalanan hidup pengarang yang menciptakan” (1976: 9). Kemudian William Hendry Hudson juga menyatakan, Personal experience, it has been rightly said, is the basis real literature” (1965: 19). Artinya pengalaman pribadi telah dikatakan benar sebagai dasar sastra yang nyata. Dengan demikian jelaslah bahwa inspirasi terciptanya puisi bukan merupakan hal yang datang dari langit, tetapi berasal dari kehidupan yang dialami sehari-hari yang dipengaruhi oleh intuisi pengarang. Dengan mengetahui riwayat hidup pengarang akan membantu tercapainya pemahaman terhadap maksud-maksud yang terkandung dalam karya puisi tersebut. Oleh karena itu dalam penelitian ini dicantumkan riwayat hidup pengarang sebagai berikut;
W.S. Rendra, lahir pada tanggal 7 Nopember 1935 di Solo, Jawa Tengah. Pernah kuliah di Jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada (tidak tamat), kemudian memperdalam pengetahuan di American of Dramatical Arts AS (1964-1967). Sepulang dari Amerika serikat membentuk Bengkel Teater di Yogyakarta dan sekaligus menjadi pimpinannya. Tahun 1964 ia mengikuti Seminar Internasional di Universitas Harvard, AS., tahun 1971, dan tahun 1979 mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda.
Dramanya yang berjudul “Orang-Orang di Tikungan Jalan”, memperoleh hadiah pertama Sayembara Drama Bagian Kesenian kementrian P dan K Yogyakarta tahun 1954. Tahun 1956 cerpennya mendapat hadiah Sastra Nasional BMKN, untuk kumpulan sajaknya memperoleh hadiah dari majalah Horison. Dan tahun 1976 mendapat hadiah pertama dari Yayasan Buku Utama Departemen P dan K untuk bukunya, tentang Bermain Drama (1976). Tahun 1970 Rendra menerima anugrah seni dari pemerintah RI dan tahun 1975 memperoleh hadiah Akademi Jakarta.
Karya-karya yang lain: Empat Kumpulan Sajak (1967, 1978). Ia sudah bertualang 1963, Blues untuk Bone (1971), sajak-sajak Sepatu Tua (1972) dan Potret Pembangunan Dalam Puisi (1980). Sajak-sajaknya diterjemahkan ke bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Jepang, Rusia dan lain-lain. Di samping itu Rendra juga banyak menerjemaahkan Oidipus Sang Raja (1976), Oidipus di Kolonus (1976) dan Antigone (1976).

III. BAHASA PUISI

1. Diksi
Persoalan pemilihan kata merupakan masalah yang sungguh-sungguh esensial untuk melukiskan dengan sejelas-jelasnya wujud dan perincian materi. Diksi sendiri berarti pemilihan kata, yaitu pemilihan kata yang digunakan penyair untuk mencari kata yang tepat dan sesuai dengan bentuk puisi dan tema yang dikandungnya, sehingga menghasilkan jiwa penyair secara tepat, setidak-tidaknya mendekati kebenaran. Lynn Al tenberd (1970: 9) mengatakan, The Selection of Words is Called Diction. Kata-kata yang dipergunakan dunia persajakan di samping memiliki arti denotatif dapat pula memiliki arti konotatif. Muhajir dalam Kencono (1982: 78) mengatakan, arti denotatif adalah makna yang dibentuk lewat makna denotatif, tetapi kepada makna itu ditambahkan komponen makna lain. Arti konotatif biasanya akan lebih jelas dalam hubungan kalimat (Keraf, 1982: 116).
Rendra dalam puisi-puisinya cenderung menggunakan kata-kata yan bermakna polos, lugas, denotatif tetapi padat dan tepat. Meskipun demikian Rendra tidak mengesampingkan kata-kata yang bermakna konotatif, hanya saja dalam puisi Rendra yang paling dominan adalah penggunaan kata-kata yana bermakna denotatif.
Pemakaian kata-kata yang bermakna konotatif dalam puisi Rendra, diantaranya dapat dilihat dalam data berikut ini:
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang kabutan
dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa
( PC, II, 1,4 )
Sepi menjadi kaca
Bunga-bunga yang ajaib bertebaran di langit
( PC. III, 2,3,5 )
Udara penuh rasa curiga
( PC. IV, 3 )
Air lautan berkilat-kilat
( PC. V, 1 )
Kamu menjadi makna
Makna menjadi harapan
(PC. VI, 1,2 )
Angin menyapu rambutmu
( PC. VIII, 1 )

Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur
Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung
Perutku sobek di jalan raya yang lenggang
(PC. IX, 1, 2, 3 )

Muncul dari perut matahari bunting
( PC. XI, 2 )
Rendra dalam menggunakan kata zaman berjalan kalang kabutan mengungkapkan bahwa keadaan pada waktu itu, kehidupan yang ada dalam masyarakat sangat tidak teratur. Wajah-wajah berdarah digunakan untuk memberikan penjelasan pengganti marah. Sepi menjadi kaca maksudnya adalah bahwa keadaan yang telah diuraikan dimuka mengakibatkan masyarakat menjadi merasa tercekam, takut terhadap keadaan waktu itu. Bunga-bunga dipakai untuk mengganti kata binatang. Udara maksudnya adalah keadaan yang semakin mencekam tersebut membuat segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia perlu untuk dicurigai. Kata berkilat-kilat maksudnya adalah memancarkan suatu penerangan terhadap keadaan pada waktu itu. Makna maksudnya adalah suatu keinginan untuk mendapatkan sesuatu. Menyapu sebagai pengganti menghembus atau meniup. Berjalan sebagai ganti telah menjalani suatu peristiwa. Pantatku karatan sebagai waktu yan terlalu lama. Perutku sobek maksudnya adalah tidak tahan lagi dengan keadaan pada waktu itu. Matahari bunting maksudnya adalah waktu pada waktu itu siang hari.
Pemakaian kata yang bermakna denotatif juga banyak bahkan terlalu banyak, adapun diantara makna denotatif tersebut nampak sebagai berikut:

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi
Memandang wajahmu dari segenap jurusan
( PC. I, 1,2 )

Kampus telah diserbu mobil berlapis baja
Kata-kata telah dilawan dengan senjata
( PC. II, 5,6 )

Aku inginkan kamu tapi kamu tidak ada
( PC. III, 4 )

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair?
Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
( PC. IV, 1,2 )

Dan lalu muncul wajahmu.
( PC. V,3 )


2. Citraan
Citraan atau imagi (imageri) adalah gambaran angan yang timbul setelah seseorang membaca karya sastra dalam hal ini puisi. Imageri dapat kita pakai sebagai hal untuk memperkuat serta memperjelas daya bayang pikiran manusia dan nantinya akan menjelmakan gambaran nyata. Tarigan (1985: 30) mengatakan bahwa segala yang dirasai atau dialami secara imajinatif inilah yang biasa dikenal dengan istilah imageri atau imagi. Dengan uraian di atas jelaslah bahwa citraan berfungsi untuk menimbulkan suasana tertentu yang berkaitan dengan sesuatu hal yang dapat diamati dengan indra.
Citraan yang terdapat dalam puisi Pamplet Cinta ini meliputi citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan gerak dan citraan perasaan.

a. Citraan Penglihatan
Citraan penglihatan adalah suatu gambaran angan yang dihasilkan penyair melalui indra penglihatan. Adapun data-data yang memuat mengenai citraan penglihatan nampak sebagai berikut:
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang kabutan
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku
( PC. II, 1,2 )

dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa
( PC. II, 4 )

Sepi menjadi kaca
Bunga-bunga yang ajaib bertebaran dilangit
( PC. III,2,3 )

Air laut berkilat-kilat
( PC. V,1 )


Lalu munculah kamu
Muncul dari perut matahari bunting
( PC. XI, 1,2 )

Memandang wajahmu dari segenap jurusan
( PC. XIV,2 )

Dari data-data di atas dapatlah kita katakan bahwa seolah-olah kejadian-kejadian itu kita lihat dengan sebenarnya tetapi sebenarnya tidak demikian.

b. Citraan Pendengaran
Citraan pendengaran adalah suatu gambaran angan yang dihasilkan penyair melalui indra pendengaran. Adapun data-data yang memuat mengenai citraan pendengaran nampak sebagai berikut:
Suara lautan adalah suara kesepian
( PC. V,2 )
Dari data di atas dapat diungkapkan bahwa seolah-olah penyair mendengar suara sepi, hampa, kosong, padahal kenyataan laut itu selalu bergemuruh mengeluarkan suara. Sehingga data di atas mengungkapkan tentang kesepian hati penyairnya, tetapi dibalik kesepiannya tersimpan rindu yang amat dalam.

c. Citraan Gerak
Citraan gerak adalah suatu gambaran angan yang dihasilkan penyair melalui indra gerak. Adapun data-data yang memuat mengenai citraan gerak nampak pada data berikut:
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang kabutan
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku
( PC. II, 12 )

Angin menyapu rambutku
( PC. VIII,1 )

sepuluh tahun akau berjalan tanpa tidur
Aku menulis sajak di bordes kereta api
Aku bertualang di dalam udara berdebu
( PC. IX, 1,5,6 )

Aku menyanyi menikmati hidup yang kelabu
( PC. X,2 )

Rahmad turun bagai hujan
Tapi juga menggigil bertanya-tanya
( PC. XI, 6,8 )
Dari data di atas maka kami dapat mengatakan bahwa gerakan yang ditimbulkan oleh penyair dalam puisinya adalah gerakan yang dilakukan kaki, tangan, badan, dan juga sesuatu yang bergerak menuju ke badan kita. Sesuatu tersebut adalah anugerah.

d. Citraan Perasaan
Citraan perasaan adalah suatu gambaran angan yang dihasilkan penyair melalui indra perasaan. Adapun data-data yang memuat mengenai citraan perasaan ini nampak sebagai berikut:
Udara penuh rasa curiga
( PC. IV,3 )

Dari data di atas maka kami dapat mengatakan bahwa betapa tidak enak di dalam kehidupan ini selalu dibayangi dengan ketakutan, kecurigaan dan saling tidak mempercayai.

3. Bahasa Kias
Bahasa kias atau gaya bahasa adalah suatu alat untuk melukiskan, menggambarkan, menegaskan inspirasi atau ide dalam bentuk bahasa dengan gaya yang mempesona (Jalil, 1985: 31). Dengan gaya bahasa tersebut diharapkan akan memberikan warna kehidupan atau menghidupkan kata-kata yang dikatakan penyair, apabila penggunaan gaya bahasa ini tepat, maka akan mempengaruhi hasil karya penyair tersebut.

a. Personifikasi
Jalil (1985: 32) mengatakan personifikasi adalah gaya bahasa yang digunakan untuk membandingkan benda mati dengan situasi atau tingkah laku manusia. Jadi, gaya bahasa ini memindahkan sifat manusia kepada benda-benda mati, seolah-olah benda tersebut berbuat seperti manusia. Adapun data yang mengungkapkan adanya gaya bahasa personifikasi nampak sebagai berikut:
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang kabutan
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku
( PC. II, 12 )

Kampus telah diserbu mobil berlapis baja
( PC. II, 5 )

Angin menyapu rambutmu
( PC. VIII,1 )

b. Hiperbola
Jalil (1985: 32) mengatakan hiperbola adalah gaya bahasa yang digunakan pengarang untuk mempertinggi nilai kata atau mempertinggi nilai-nilai dari bahasa itu sendiri. Jadi, gaya bahasa hiperbola ini untuk melebih-lebihkan sesuatu. Adapun data-data yang memuat gaya bahasa hiperbola nampak sebagai berikut:
Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja
( PC. II, 4, 5 )
Sepi menjadi kaca
( PC. III, 2,5 )

Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung
Perutku sobek di jalan raya yang lenggang
( PC. IX, 2,3 )


c. Pararelisme Anafora
Pararelisme anafora adalah gaya bahasa perulangan pada bagian awal kata. Mengenai gaya bahasa pararelisme anafora ini dapat dilihat dalam data berikut ini:
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang kabutan
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku
Aku merindukan wajahmu
( PC. II, 1,2,3 )

Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu
( PC. VII, 2,3,4 )

Penggunaan gaya bahasa pararelisme anafora ini adalah untuk memberikan penekanan pada kata-kata yang digunakan penyair, sehingga memberikan efek ketegasan dalam puisi.

4. Sarana Retorika
Sarana retorika merupakan alat untuk mengungkapkan keseluruhan bentuk, dalam arti bentuk yang terjalin dari kata-kata tersebut. Sarana retorika ini meliputi tiga hal yakni, ambiguitas, enjabemen, dan elipsis.

a. Ambiguitas
Ambigiutas adalah suatu kalimat yang memiliki makna ganda. Kridalaksana (1983: 10) mengatakan, ambiguitas adalah suatu kontruksi yang dapat diberi lebih dari satu tafsiran. Puisi tersebut mempunyai kalimat yang bermakna ambiguitas, ini nampak pada data berikut:

Aku tertawa, Ma !
( PC. VII, 5 )

Aku jadi bego, Ma !
( PC. XI, 9 )

Aku menulis sajak di bordes kereta api
( PC. IX, 5 )
Dari data di atas dapat dikatakan bahwa kata Ma disini dapat berarti Ibu, cinta kasih kepada Ibu. Dapat juga berarti Ma sebagai nama panggilan nama kekasih. Demikian pula kalimat di bordes kereta api, kalimat ini menimbulkan pengertian, ia menulis sajak di bordes kereta api, dapat pula berarti bahwa ia menulis sajak dengan judul di bordes kereta api.

b. Enjabemen
Enjabemen adalah peloncatan baris, yaitu perpindahan dari baris yang satu ke baris berikutnya, ini sesuai dengan pendapat Putu Arya Tirtawirya (1982: 35) yang mengatakan, bahwa enjabemen adalah pemenggalan kata dalam baris berikutnya. Peloncatan baris ini akan menimbulkan imagi penikmat, yaitu apa yang dimaksudkan penyair tersebut? Makna apa yang terkandung dengan penggunaan enjabemen tersebut? Ini semua merupakan hal yang harus diketahui oleh pembaca, karena dengan mengetahui hal tersebut akan memudahkan untuk menganalisis dan membaca puisi. Adapun data yang mengungkapkan tentang enjabemen tersebut nampak dalam data berikut:
Aku merindukan wajahmu,
dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa
( PC. II, 3,4 )

Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan
adalah penindasan
( PC. II, 10,11 )

Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,
aku menyanyi menikmati hidup yang kelabu
( PC. X, 1,2 )

Lalu muncullah kamu,
muncul dari perut matahari bunting,
jam dua belas seperempat siang
( PC. XI, 1,2,3 )

Rahmad turun bagai hujan
membuat segar,
tetapi juga menggigil bertanya-tanya.
(PC, XI, 6, 7, 8)

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair?
bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
(PC, IV, 1, 2)

Bahagia karena mempunyai kamu dalam kalbuku
dan sedih karena kita sering berpisah
(PC, XII, 2, 3)
c. Elipsis
Elipsis digunakan penyair untuk memperpadat isi puisinya dengan menyingkat kata tanpa mengubah maksud yang terkandung dalam puisi tersebut. Kata-kata elipsis yang terdapat dalam puisi Pamplet Cinta tidak banyak, ini menandakan bahwa Rendra kurang menyukai adanya elipsis dan lebih menyukai kata-kata secara keseluruhan dalam arti tidak disingkat. Adapun data yang memuat mengenai elipsis ini nampak sebagai berikut:

Aku disergap kejadian tak terduga …
Rahmad tunen bagai hujan
membuatku segar
tapi juga menggigil bertanya-tanya
Aku jadi bego, Ma!
(PC, XI, 5, 6, 7, 8, 9)
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku
Aku merindukan wajahmu
(PC, II, 2, 3)





IV. BENTUK PUISI

Bentuk puisi mempunyai peranan yang cukup penting. Dengan adanya bentuk puisi ini kita dapat menentukan puisi tersebut termasuk dalam periode berapa. Dalam arti puisi tersebut tergolong puisi lama atau modern. Di samping itu bentuk puisi antara puisi yang satu dengan lainnya berbeda. Adapun yang termasuk bentuk puisi adalah bait dan baris, nilai bunyi dan persajakan. Tiap-tiap bagian akan kami uraikan berikut ini.

1. Bait dan Baris
Puisi-puisi pada masa sekarang ini mempunyai bentuk bait dan baris yang berbeda-beda. Adapun bait dan baris yang terdapat dalam puisi tersebut nampak sebagai berikut:
Jumlah bait empat belas bait. Bait pertama dua baris, bait kedua sebelas baris, bait ketiga ketiga lima baris, bait keempat empat baris, bait kelima tiga baris, bait keenam dua baris, bait ketujuh lima baris, bait kedelapan dua baris, bait kesembilan enam baris, bait kesepuluh dua baris, bait kesebelas sembilan baris, bait kedua belas lima baris, bait ketiga belas tiga baris, bait keempat belas dua baris. Jumlah baris keseluruhannya enam puluh satu baris.

2. Nilai Bunyi
Nilai bunyi erat hubungannya dengan ritme dan rima. Tarigan (1985: 37-38), membagi nilai bunyi menjadi dua macam yakni euphony dan cacophony. Euphony adalah perulangan bunyi atau rima yang cerah, ringan , yang menunjukkan kegembiraan serta keceriaan dalam dunia puisi. Biasanya bunyi-bunyi i, e, dan a merupakan bunyi keceriaan. Cacophony adalah perulangan bunyi-bunyi yang berat menekan, menyeramkan, mengerikan seolah-olah seperti suara desau atau suara burung hantu. Biasanya bunyi-bunyi seperti ini diwakili oleh vokal-vokal o, u, e, atau diftong au.
Adapun mengenai nilai bunyi yang terdapat salam puisi Rendra ini akan kami kemukakan bait demi bait. Nilai bunyi tersebut nampak sebagai berikut:
Bait I : Bunyi-bunyi tersebut termasuk euphony, karena bernadakan kegembiraan dan keceriaan.
Bait II, III, IV : Bunyi-bunyi tersebut termasuk cocophony, karena bernadakan keadaan yang mencekam dan mengerikan.
Bait V,VI,VIII : Bunyi-bunyi tersebut termasuk euphony, karena bernadakan kegembiraan dan keceriaan.
Bait XI, X : Bunyi-bunyi tersebut termasuk cocophony, karena bernadakan keadaan yang mencekam dan mengerikan.
Bait XI, XII, : Bunyi-bunyi tersebut termasuk euphony, karena bernadakan
XIII, XIV kegembiraan dan keceriaan.
Secara keseluruhan nilai bunyi yan terdapat dalam puisi “Pamplet Cinta” ini lebih dominan bunyi-bunyi euphony, karena bernadakan kegembiraan dan keceriaan. Bunyi cacophony juga ada di dalam puisi tersebut, walaupun tidak mendominasi.

a. Persajakan
Persajakan ada dua macam, yaitu persajakan berdasarkan tempat dan persajakan susunan. Berdasarkan tempat masih dibagi lagi, yaitu persajakan awal dan persajakan akhir. Persajakan awal, yaitu apabila perulangan bunyi terdapat pada tiap-tiap awal perkataan. Persajakan akhir apabila perulangan itu dijumpai pada akhir setiap kata dalam satu baris. Berdasarkan susunannya persajakan masih dibagi lagi, yaitu persajakan berangkai, berulang dan berpeluk. Persajakan berangkai apabila persamaan bunyi aa, bb, cc dan seterusnya. Persajakan berulang apabila persamaan bunyinya abac, cdce. Persajakan berpeluk apabila persamaan bunyinya abba, cddc (Tarigan, 1985: 35-36).
Puisi Pamplet Cinta ini mempunyai persajakan bebas, karena tidak dibatasi oleh kesemua hal yang telah kami kemukakan. Lagi pula jumlah barisnya dari bait yang satu dengan bait lainnya berbeda. Sehingga persajakan bebas ini tidak memerlukan aturan, dalam arti aturan menganai persajakan.


V. ISI PUISI

Isi puisi adalah segala hal mengenai apa yang terkandung dalam puisi tersebut. Maksud dari penyair diungkapkan dibagian isi puisi ini. Isi puisi ini mencakup mengenai narasi, emosi dan ide.

1. Narasi
Narasi adalah suatu bentuk wacana yang bertugas menggambarkan sejelas-jelasnya suatu objek. Objek itu seolah-olah berada di depan mata kita sebagai penikmat, sehingga narasi lebih dikenal sesuatu yang berusaha mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa (Keraf, 1982: 137-138). Disini seluruh rangkaian kejadian itu berlangsung dalam suatu kesatuan waktu.
Narasi dalam sebuah puisi berarti penguraian atau penceritaan dimana puisi bukan sebagai bentukan dari hal-hal di luar puisi, melainkan dari isi puisi itu sendiri. Maksudnya adalah bahwa puisi sebagai suatu yang harus disampaikan kepada orang lain dengan jalan seperti bercerita.
Rendra dalam puisi “Pamplet Cinta” ini mengungkapkan mengenai kerinduan kepada kekasihnya, kekasih menurut Rendra disini bukan hanya sekedar orang yang menerima dan memberikan saja, tetapi seorang kekasih yang dicintainya dengan setulus hati, dengan kekaguman yang dalam. Kekasih adalah seorang yang dapat dijadikan tempat membagi rasa, baik di dalam keadaan suka maupun duka. Di samping itu diceritakan pula tentang bagaimana Rendra bercerita tentang kekacauan zaman, tentang kekhawatirannya sebagai seorang penyair, tentang harapan hidup, tentang kesedihan dan kebahagiaan. Segala keseriusan hatinya disampaikan kepada kekasihnya tercinta.

2. Emosi
Emosi adalah perasaan penyair yang diungkapkan melalui hasil karyanya dalam hal ini puisi. Situmorang (1983: 13) mengatakan bahwa dalam kehidupan yang nyata emosi atau perasaan timbul oleh suatu situasi konkret yang membangkitkan perasaan-perasaan cinta dan benci, hasrat dan keagungan. Dengan demikian terlihat nyata bahwa emosi diwarnai oleh suasana hati penyair, yang kadang-kadang dipelajari dengan membiasakan peka terhadap lingkungannya.
Dalam puisi “Pamplet Cinta” emosi nampak sebagai kelembutan karena kerinduan maupun emosi yang bersifat kasar karena rasa gelisah yang ada di dalam hatinya. Adapun data yang mengungkapkan mengenai emosi kelembutan tersebut nampak sebagai berikut:
Yaah, Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan gelisah.
Bahagia karena mempunyai kamu dalam kalbuku,
dan sedih karenakita sering berpisah.
( PC. XII, 1,2,3 )
Demikian pula emosi yang berupa luapan perasaan karena melihat zaman yang tidak menentu, lihat data berikut:
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang kabutan
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku
Aku merindukan wajahmu,
dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja
Kata-kata telah dilawan dengan senjata
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini
Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.
Keamanan yan berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.
( PC. II )
Emosi tersebut pada bait dua timbul pada diri penyair, karena penyair peka terhadap lingkungan yang dirasakannya tidak lagi memberikan ketentraman batin. Kepekaan terhadap sekeliling merupakan kepekaan terhadap suasana kehidupan, dengan demikian terlihatlah betapa Rendra dengan puisinya “Pamplet Cinta” ini telah berusaha mengungkapkan suasana kehidupan tersebut dengan bahasa dan kemampuannya.

a. Ide
Ide atau gagasan adalah yang menjelmakan menjadi puisi. Puisi tidak lahir dari lintasan perasaan saja, tetapi puisi juga lahir dari perenungan yang panjang sebelum tertuang dalam rangkaian kata, yang mengungkapkan apa yang dilihatnya, direnungkan, kemudian berkembang menjadi imajiansinya.
Puisi Rendra, Pamplet Cinta mengemukakan permasalahan tentang rasa cinta kasih yang tulus kepada kekasihnya, didalamnya juga terdapat nilai-nilai sosial yang mulai tergeser oleh penindasan kekuasaan, kekacauan zaman dan lain-lain.
VI. ANALISIS MIMETIK

Pengertian mimetik mula-mula dinyatakan oleh Plato dan Aristoteles, tetapi keduanya berbeda dalam menafsirkan makna mimetik. Karya sastra merupakan jiplakan dari kenyataan. Sedangkan Aristoteles berpendapat lain bahwa mimetik tidak semata-mata menjiplak kenyataan, tetapi merupakan sebuah proses kreatif; pengarang sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru (dalam Luxembrug dkk., terjemahan Hartoko, 1986: 16-17). Sedangkan M.H. Abrams mengatakan bahwa orientasi mimetik menjelaskan seni pada prinsipnya sebuah tiruan dari aspek alam (1953: 8).
Andre Haryana berpendapat bahwa aspek mimetik merupakan unsur luar yang sangat berpengaruh dalam proses terciptanya suatu karya sastra, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan roman atau novel yang besar lewat daya khayal pengarangnya adalah sebuah penafsiran kembali dari persoalan-persoalan masyarakat, termasuk sejarah dan pengalaman sosial manusia dalam lingkungan hidup dan jamannya.
Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa analisis mimetik berdasarkan pada relevansi antara karya sastra dengan kenyataan yang merupakan proses kreatif pengarang berdasarkan pengalaman hidupnya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dikaitkan dengan aspek mimetik yang menonjol dalam puisi “Pamplet Cinta” maka analisis mimetik ini meliputi: aspek sosial dan cinta.

1. Aspek Sosial
Karya sastra pada dasarnya mengungkapkan nilai-nilai kehidupan dengan segala permasalahannya, tetapi tidak berarti karya sastra merupakan cermin kehidupan secara mutlak. Subjek selalu mempengaruhi penciptaaan karya sastra, sehingga masing-masing pengarang mempunyai pandangan sendiri-sendiri terhadap objek yang sama.
Sesuatu yang diungkapkan dalam karya sastra merupakan gambaran kehidupan. Bukan hal yang aneh jika permasalahan-permasalahan yang timbul dalam karya sastra kemungkinan terjadi dalam kehidupan sehari-hari, atau pada waktu tertentu. Seperti dikatakan oleh Yakob Sumarjo bahwa tinjauan sosiologis terhadap karya sastra merupakan suatu tinjauan yang memungkinkan untuk diterapkan, karena karya sastra merupakan gambaran kehidupan, walaupun harus tetap disadari bahwa tinjauan itu tidak akan mendapat hasil yang bermutu baik. persoalannya objek yang harus dihadapi hanya sekedar gambaran kehidupan yang sifatnya lebih menonjolkan perasaan dibandingkan fakta yang objektif. Oleh sebab itu, hasil penelitian sosiologi sastra berfungsi untuk memperoleh gambaran sosial dalam karya sastra, yaitu penggambaran kehidupan yang menjadi latar belakang cerita (1981: 24).
Dalam puisi “Pamplet Cinta” dilukiskan masalah sosial tentang keadaan zaman yang sudah berubah, dimana manusia sudah terpengaruh adanya nafsu dan ambisi yang menimbulkan sifat-sifat kurang baik seperti penindasan dan pemberontakan serta rasa saling mencurigai diantara sesama umat. Demikian pula keadaan di lingkungan kampus atau pendidikan telah dipengaruhi hal-hal yang sifatnya merusak keetisan dunia pendidikan.
Penyair mengungkapkan idenya tentang nilai-nilai sosial yang sudah bergeser. Hal ini dapat dilihat dalam data sebagai berikut:
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang kabutan
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakat
Aku merindukan wajahmu,
dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja
Kata-kata telah dilawan dengan senjata
Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan
dan ketegangan
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akan sehat
Keamanan yang berdasar senjata dan kekuasaan
adalah penindasan
( PC. Bait II )

Dari data di atas melukiskan bahwa penyair menyaksikan keadaan masyarakat kampus yang dipenuhi rasa kurang puas para mahasiswa dengan kondisi saat itu. Di samping itu keamanan telah kena pengaruh material yan gemerlapan. Sehingga keamanan, ketentraman dan kejujuran, justru dianggap perbuatan yang menakutkan. Benda yang dianggap canggih dan mendapat perhatian adalah ancaman atau paksaan dan persenjataan yang modern. Maka yang muncul dalam masyarakat adalah penindasan yang sering merugikan masyarakat. Dari sinilah dapat diketahui bahwa nilai sosial sudah mulai tergeser.
Pada bait berikutnya penyair juga melukiskan tentang keadaan sosial masyarakat yang berekonomi lemah. Hal ini terdapat pada data sebagai berikut:
Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur
Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung
Perutku sobek di jalan raya yang lenggang …………..
Tidak. Aku tidak sedih kesepian.
Aku menulis sajak di bordes kereta api
Aku bertualang di dalam udara berdebu
Dengan berteman anjing-anjing gelodog dan kucing-kucing liar,
Aku menyanyi menikmati hidup yang kelabu
( PC. Bait IX, X )

Data tersebut di atas dapat ditafsirkan bahwa penyair telah lama mengalami hidup sengsara, yakni kemiskinan, ia melukiskan penderitaannya dengan terus terang. Hidupnya dilukiskan bersama orang-orang miskin dan para gelandangan. Namun hal ini dijalaninya terus menerus dengan perasaan tak menentu.

2. Cinta
Dalam puisi “Pamplet Cinta” ini pengarang melukiskan tentang perasaan hatinya dalam menghadapi seseorang yang dicintainya. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup tanpa cinta. Baik cinta sesama umat maupun cinta terhadap Tuhan. Oleh karena itu, tidak aneh jika penyair yang memiliki kepekaan yang tajam dan rasa cinta, serta senang menikmati keindahan mampu melukiskan perasaan dan pengalaman hidupnya secara romantis. Rendra adalah seorang penyair yang suka protes tetapi protesnya demi cintanya terhadap sesama.
Rasa cinta yang tulus diungkapkan dalam puisi ini dengan bahasa sederhana. Cintanya terhadap seseorang wanita yang dapat menimbulkan semangat hidup. Hal ini terlukis dalam data sebagai berikut:
Yaah, ma mencintai kamu adalah bahagia dan sedih
Bahagia karena mempunyai kamu dalam kalbuku,
dan sedih karena kita sering berpisah
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.
Tetapi bukanlah kehidupan sendiri adalah bahagia
dan sedih?
( PC. bait XII )


Data di atas melukiskan tentang rasa cinta yang tulus terhadap sesama umat, yakni seorang wanita. Dengan rasa cinta yang tulus maka membuat seseorang menjadi lebih semangat dan bangkit harapan hidupnya. Di sisi lain juga dapat dikaitkan dengan rasa cinta terhadap Tuhan. Manusia hidup jika memiliki rasa cinta pada Tuhan, maka ia akan teringat selalu. Meskipun disadari pada suatu saat manusia akan terlena sehingga dalam waktu tertentu akan melupakan Tuhan dan berbuat yang bertentangan dengan ajaran kebaikan. Manusia menyadari bahwa persaan cinta perlu dipupuk terus, agar kita tidak terlena pada hal-hal yang tidak baik. Karena dalam kehidupan penuh ketegangan-ketegangan atau konflik-konflik.
Menurut penyair disaat sepi dapat menenangkan pikiran dan menumbuhkan kesadaran hati manusia. Ingat terhadap Tuhan dan suatu kebenaran, sehingga manusia dapat menemukan eksistensi dirinya. Hal ini menunjukkan besarnya rasa cinta terhadap Sang Pencipta alam. Pemikiran semacam ini terlihat pada data sebagai berikut:
Air laut berkilat-kilat.
Suara lautan adalah suara kesepian.
Dan lalu muncul wajahmu.

Kamu menjadi makna
Makna menjadi harapan.
( PC. Bait V dan VI )
Jika dalam diri manusia sudah ada rasa cinta, maka segala yang dilakukan mempunyai arti; sehingga sesuatu yang dilakukan dapat menjadi harapan dan kepastian dalam langkah-langkah berikutnya.
Dari lukisan sajak di atas sebenaranya dapat diambil intinya, bahwa pada dasarnya manusia dalam hidupnya jangan sampai kehilangan rasa cinta. Sebab tanpa rasa cinta mustahil kita dapat menikmati hidup serta menjalankan segala perintah-Nnya.



VII. KESIMPULAN

Dari uraian dan analisis data, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pilihan kata yang banyak digunakan oleh Rendra dalam puisinya “Pamplet Cinta” adalah kata-kata yang bermakna denotatif, tetapi Rendra tidak mengesampingkan kata-kata yang bermakna konotatif.
Citraan yang digunakan mengutamakan perasaan, penglihatan, pendengaran dan gerak. Citraan penglihatan dan citraan gerak merupakan citraan yang banyak digunakan.
Bahasa kias yang digunakan meliputi personifikasi, hiperbola, dan pararelisme anafora.
Sarana retorika meliputi ambiguitas, enjabemen, dan elipsis. Dari ketiga sarana retorika tersebut yang banyak digunakan adalah enjabemen.
Jumlah bait yang terdapat dalam puisi “Pamplet Cinta” sebanyak empat belas bait, bait yang satu dengan bait yang lainnya jumlah barisnya berlainan. Jumlah baris seluruhnya enam puluh satu baris.
Nilai bunyi yang terdapat dalam puisi tersebut adalah bunyi-bunyi euphony dan bunyi-bunyi cacophony. Bunyi-bunyi yang paling banyak terdapat pada puisi “Pamplet Cinta” adalah bunyi-bunyi euphony.
Persajakan yang terdapat dalam puisi “Pamplet Cinta” adalah persajakan bebas, karena tidak dibatasi oleh aturan persajakan.
Narasi yang terdapat dalam puisi “Pamplet Cinta” adalah mengenai kerinduan kepada kekasihnya. Kekasih disini maksudnya orang yang mencintai dengan setulus hati.
Emosi yang diungkapkan Rendra, yaitu emosi yang bersifat kasar karena rasa gelisah yang ada dihatinya. Di sini emosi tersebut ada dua macam, yaitu emosi kelembutan dan emosi yang berupa luapan perasaan.
Ide yang dikemukakan oleh Rendra, yaitu di samping rasa cinta kasih yang tulus kepada kekasihnya, juga terdapat nilai-nilai sosial yang mulai tergeser oeleh keadaaan zaman.
Aspek sosial yang dilukiskan penyair mengenai rasa tidak puas mahasiswa terhadap kenyataan yang dihadapi dan adanya penindasan serta kemiskinan.
Aspek cinta meliputi cinta terhadap sesama umat dan pada seorang wanita serta terhadap Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Alisabana, S. Takdir. 1976. Penilaian Chairil Anwar Kembali. Budaya Jaya, IX-Maret 1976. Jakarta: Gramedia.

Dharma, Budi. 1984. Moral Dalam Sastra,(Dalam Andy Zoelton, ed.). Budaya Sastra. Jakarta: C.V. Rajawali.

Esten, Mursal. 1984. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.

Guntur, Tarigan Henry. 1985. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: PN. Angkasa.

Haryana, Andre. 1985. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Hartoko, Dick dan L. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Jalil, Danie Abdul. 1985. Teori dan Periodesasi Puisi Indonesia. Bandung: PN. Angkasa.

Keraf, Georys. 1982. Eksposisi dan Deskripsi. Jakarta: Gramedia.

Rendra, WS. 1980. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Lembaga Study Pembangunan.
Situmorang, BP. 1983. Puisi Teori Apresiasi Bentuk dan Struktur. Ende Flores: Nusa Indah.

Tirtawirya, Putu Arya. 1982. Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende Flores: Nusa Indah.