Sabtu, 25 April 2009

ANALISIS STRUKTURAL & MIMETIK

TINJAUAN STRUKTURAL DAN MIMETIK
PUISI PAMPLET CINTA KARYA W. S. RENDRA

oleh
Eri Sarimanah


Abstract

The study on the structure and mimes of the poem Pamplet Cinta by W. S. Rendra is aimed at identifying the use of poetical language, its form, and its content. In addition, it identifies the integrated aspect to form goal and esthetic poems.
The research method applied is a descriptive method to describe the poem structurally and mimetically with library research and analysis technique.
the result shows that: the dictions selected accurately by the poet sevene and forlorn atmosphere visual descrption was even made the poem more lively.
personification and hyperbole are significant in the poem. the rhetoric happens in the repetition of ellipsis and syllabification. the poem is in the form of lines, verses, and rhymes a well orchestrated to form an esthetic poem.
the content covers emotion and ideas; the structural aspects are well integrated, while the mimetic aspects cover social and love.

Kata Kunci
Diksi : Pilihan kata
Citraan : Gambaran yang timbul seetelah membaca karya sastra
Mimetik : Hal yang berhubungan dengan makna dan lambang
Enjabemen : Peloncatan baris


I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Puisi sebagai salah satu karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi dapat dikaji dari struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Dapat pula puisi dikaji dari jenis-jenis atau ragam-ragamnya, mengingat ada beragam-ragam puisi. Begitu juga puisi dapat dikaji dari sudut kesejarahannya, mengingat bahwa sepanjang sejarahnya, dari waktu ke waktu puisi selalu ditulis dan selalu dibaca orang (A.Teeuw, 1980: 12).
Pemahaman puisi dapat ditinjau dari beberapa aspek. Hal ini tergantung pada isi puisi yang dibahas. Kehadiran puisi untuk dinikmati pembaca, tetapi tidak terlepas dari latar belakang penyairnya serta keadaan pada zamannya. Oleh karena itu, puisi perlu ditinjau dari segi struktural dan segi memetik atau dikaitkan dengan kenyataan. Pamplet Cinta merupakan salah satu judul puisi karangan W.S. Rendra yang melukiskan masalah-masalah sosial dan cinta. Pengarang dengan teliti memilih kata-kata denotatif dan konotatif, sehingga mampu mencerminkan pengalaman hidupnya secara baik.
Masalah sosial dan cinta menjadi objek dalam puisi “Pamplet Cinta” dari unsur struktural dan memetik. Dengan harapan dapat mengetahui secara mendalam tentang isi dan bobot nilai kesusastraannya.
Memahami atau menganalisis puisi pada hakikatnya adalah membaca kehidupan. Karena puisi dapat mencerminkan corak kehidupan masyarakat pada zamannya, dan mampu menjelaskan harkat, dan martabat manusia secara utuh, serta berisikan masalah kehidupan yang universal.
Sampai saat ini penelitian mengenai pemahaman analisis struktur puisi sangat kurang, jika dibandingkan dengan analisis struktur prosa. Oleh karena itu peneliti ingin memahami struktur puisi “Pamplet Cinta” karya W.S. Rendra yang terdapat dalam kumpulan puisinya Potret Pembangunan dalam Puisi.



2. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakan penelitian terhadap puisi “Pampet Cinta” karya W.S. Rendra adalah:
Untuk mengetahui pemanfaatan unsur-unsur pembangun seperti: diksi, citraan, bahasa kias, sarana retorika, bait dan baris, nilai bunyi, persajakan, narasi, emosi, dan ide dalam puisi “Pamplet Cinta” karya W.S. Rendra.
Untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan dan keharmonisan di antara unsur-unsur pembangun dari dalam puisi, sehingga puisi itu dapat dikatakan sublim.
Untuk mengetahui seberapa jauh hubungan antara puisi “Pamplet Cinta” dengan kenyataan.
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat membantu penikmat dalam memahami puisi “Pamplet Cinta” karya W.S. Rendra, serta dapat membantu penikmat dalam memilih karya sastra yang bernilai tinggi.

a. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian, maka masalah yang timbul adalah:
Bagaimana diksi, citraan, bahasa kias, sarana retorika, bait dan baris, nilai bunyi, persajakan, narasi, emosi, dan ide dalam puisi “Pamplet Cinta” karya W.S. Rendra?
Apakah puisi tersebut dapat digolongkan pada karya sastra yang bernilai seni?
Bagaimana hubungan antara puisi “Pamplet Cinta” dengan kenyataan?


b. Kerangka Teori
Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural, yaitu suatu metode atau cara pencarian terhadap suatu fakta yang sasarannya tidak hanya ditujukan kepada salah satu unsur sebagai individu yang berdiri sendiri di luar kesatuannya, melainkan ditujukan pula kepada hubungan antar unsurnya (Fokkema, 1977: 21). Analisis struktural merupakan tugas prioritas atau tugas pendahuluan sebab karya sastra mempunyai kebulatan makna instrinsik yang dapat digali dari karya itu sendiri (A.Teeuw, 1984: 135).
Pendekatan struktural yang dipergunakan, akan menghasilkan gambaran yang jelas terhadap diksi, citraan, bahasa kias, sarana retorika, bait dan baris, nilai bunyi, persajakan, narasi, emosi, dan ide yang dipergunakan W.S. Rendra dalam menulis puisinya “Pamplet Cinta”. Di samping itu juga dapat diketahui keterkaitan dan kesatuan yang harmonis tentang pemanfaatan unsur-unsur yang mendukung terciptanya puisi tersebut.
Karya sastra yang baik dan bernilai, hendaknya mengandung lima tingkatan pengalaman jiwa, seperti yang dikatakan oleh Subagio Sastrowardoyo (Rachmat Djoko Pradopo, 1967: 35). Yaitu tingkatan anorganis, tingkatan vegetatif, tingkatan animal, tingkatan human, dan tingkatan religius atau filosofis.
Apabila kelima tingkatan tersebut di atas terkandung dalam puisi “Pamplet Cinta” karya W.S. Rendra, maka puisi tersebut dapat digolongkan dalam karya yang bernilai sastra.

c. Metode dan Teknik Penelitian
Riset yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah riset perpustakaan, artinya mempergunakan buku-buku sebagai data primer dan data skunder, yaitu sebagai pedoman dalam pembahasan ini.
Metode pembahasan yang dipergunakan adalah metode analisis, yaitu cara-cara mengkaji atau menganalisis unsur struktural puisi “Pamplet Cinta” karya W.S. Rendra yang dijadikan objek pembahasan untuk mengetahui diksi, citraan, bahasa kias, sarana retorika, bait dan baris, nilai budaya, persajakan, emosi, ide, serta pengalaman jiwa yang dipergunakan oleh pengarangnya.
Langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: pertama mengemukakan biografi pengarang dan hasil karyanya; kedua menganalisis bahasa puisi seperti: diksi, citraan, kiasan, sarana retorika; ketiga menganalisis bentuk puisi: bait dan baris, nilai bunyi, persajakan; keempat menganalisis isi puisi: narasi, emosi, dan ide; serta kelima menganalisis unsur mimetik puisi.
Untuk memudahkan menganalisis data, puisi “Pamplet Cinta” disingkat PC.

II. RIWAYAT HIDUP DAN KARYA PENGARANG

Puisi merupakan hasil cipta pengarang berdasarkan kemampuan angannya. Pengarang yang baik, yaitu pengarang yang dapat memberikan arti sesuatu dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengarang berusaha dapat memahami dan menguraikan persoalan kehidupan manusia melalui hasil ciptaannya. Persoalan yang ditampilkan menyangkut masalah yang universal. Dengan demikian jelaslah bahwa karya sastra khususnya puisi dapat menambah pengetahuan pembaca dan menambah kekayaan batin. Dalam pembahasan puisi perlu diketahui riwayat hidup pengarang sebagai bahan pembantu dalam menganalisis unsur struktural.
M.S. Hutagalung berpendapat, “… biasanya ciptaan sastra adalah rekaman dari perjalanan hidup pengarang yang menciptakan” (1976: 9). Kemudian William Hendry Hudson juga menyatakan, Personal experience, it has been rightly said, is the basis real literature” (1965: 19). Artinya pengalaman pribadi telah dikatakan benar sebagai dasar sastra yang nyata. Dengan demikian jelaslah bahwa inspirasi terciptanya puisi bukan merupakan hal yang datang dari langit, tetapi berasal dari kehidupan yang dialami sehari-hari yang dipengaruhi oleh intuisi pengarang. Dengan mengetahui riwayat hidup pengarang akan membantu tercapainya pemahaman terhadap maksud-maksud yang terkandung dalam karya puisi tersebut. Oleh karena itu dalam penelitian ini dicantumkan riwayat hidup pengarang sebagai berikut;
W.S. Rendra, lahir pada tanggal 7 Nopember 1935 di Solo, Jawa Tengah. Pernah kuliah di Jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada (tidak tamat), kemudian memperdalam pengetahuan di American of Dramatical Arts AS (1964-1967). Sepulang dari Amerika serikat membentuk Bengkel Teater di Yogyakarta dan sekaligus menjadi pimpinannya. Tahun 1964 ia mengikuti Seminar Internasional di Universitas Harvard, AS., tahun 1971, dan tahun 1979 mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda.
Dramanya yang berjudul “Orang-Orang di Tikungan Jalan”, memperoleh hadiah pertama Sayembara Drama Bagian Kesenian kementrian P dan K Yogyakarta tahun 1954. Tahun 1956 cerpennya mendapat hadiah Sastra Nasional BMKN, untuk kumpulan sajaknya memperoleh hadiah dari majalah Horison. Dan tahun 1976 mendapat hadiah pertama dari Yayasan Buku Utama Departemen P dan K untuk bukunya, tentang Bermain Drama (1976). Tahun 1970 Rendra menerima anugrah seni dari pemerintah RI dan tahun 1975 memperoleh hadiah Akademi Jakarta.
Karya-karya yang lain: Empat Kumpulan Sajak (1967, 1978). Ia sudah bertualang 1963, Blues untuk Bone (1971), sajak-sajak Sepatu Tua (1972) dan Potret Pembangunan Dalam Puisi (1980). Sajak-sajaknya diterjemahkan ke bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Jepang, Rusia dan lain-lain. Di samping itu Rendra juga banyak menerjemaahkan Oidipus Sang Raja (1976), Oidipus di Kolonus (1976) dan Antigone (1976).

III. BAHASA PUISI

1. Diksi
Persoalan pemilihan kata merupakan masalah yang sungguh-sungguh esensial untuk melukiskan dengan sejelas-jelasnya wujud dan perincian materi. Diksi sendiri berarti pemilihan kata, yaitu pemilihan kata yang digunakan penyair untuk mencari kata yang tepat dan sesuai dengan bentuk puisi dan tema yang dikandungnya, sehingga menghasilkan jiwa penyair secara tepat, setidak-tidaknya mendekati kebenaran. Lynn Al tenberd (1970: 9) mengatakan, The Selection of Words is Called Diction. Kata-kata yang dipergunakan dunia persajakan di samping memiliki arti denotatif dapat pula memiliki arti konotatif. Muhajir dalam Kencono (1982: 78) mengatakan, arti denotatif adalah makna yang dibentuk lewat makna denotatif, tetapi kepada makna itu ditambahkan komponen makna lain. Arti konotatif biasanya akan lebih jelas dalam hubungan kalimat (Keraf, 1982: 116).
Rendra dalam puisi-puisinya cenderung menggunakan kata-kata yan bermakna polos, lugas, denotatif tetapi padat dan tepat. Meskipun demikian Rendra tidak mengesampingkan kata-kata yang bermakna konotatif, hanya saja dalam puisi Rendra yang paling dominan adalah penggunaan kata-kata yana bermakna denotatif.
Pemakaian kata-kata yang bermakna konotatif dalam puisi Rendra, diantaranya dapat dilihat dalam data berikut ini:
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang kabutan
dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa
( PC, II, 1,4 )
Sepi menjadi kaca
Bunga-bunga yang ajaib bertebaran di langit
( PC. III, 2,3,5 )
Udara penuh rasa curiga
( PC. IV, 3 )
Air lautan berkilat-kilat
( PC. V, 1 )
Kamu menjadi makna
Makna menjadi harapan
(PC. VI, 1,2 )
Angin menyapu rambutmu
( PC. VIII, 1 )

Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur
Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung
Perutku sobek di jalan raya yang lenggang
(PC. IX, 1, 2, 3 )

Muncul dari perut matahari bunting
( PC. XI, 2 )
Rendra dalam menggunakan kata zaman berjalan kalang kabutan mengungkapkan bahwa keadaan pada waktu itu, kehidupan yang ada dalam masyarakat sangat tidak teratur. Wajah-wajah berdarah digunakan untuk memberikan penjelasan pengganti marah. Sepi menjadi kaca maksudnya adalah bahwa keadaan yang telah diuraikan dimuka mengakibatkan masyarakat menjadi merasa tercekam, takut terhadap keadaan waktu itu. Bunga-bunga dipakai untuk mengganti kata binatang. Udara maksudnya adalah keadaan yang semakin mencekam tersebut membuat segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia perlu untuk dicurigai. Kata berkilat-kilat maksudnya adalah memancarkan suatu penerangan terhadap keadaan pada waktu itu. Makna maksudnya adalah suatu keinginan untuk mendapatkan sesuatu. Menyapu sebagai pengganti menghembus atau meniup. Berjalan sebagai ganti telah menjalani suatu peristiwa. Pantatku karatan sebagai waktu yan terlalu lama. Perutku sobek maksudnya adalah tidak tahan lagi dengan keadaan pada waktu itu. Matahari bunting maksudnya adalah waktu pada waktu itu siang hari.
Pemakaian kata yang bermakna denotatif juga banyak bahkan terlalu banyak, adapun diantara makna denotatif tersebut nampak sebagai berikut:

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi
Memandang wajahmu dari segenap jurusan
( PC. I, 1,2 )

Kampus telah diserbu mobil berlapis baja
Kata-kata telah dilawan dengan senjata
( PC. II, 5,6 )

Aku inginkan kamu tapi kamu tidak ada
( PC. III, 4 )

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair?
Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
( PC. IV, 1,2 )

Dan lalu muncul wajahmu.
( PC. V,3 )


2. Citraan
Citraan atau imagi (imageri) adalah gambaran angan yang timbul setelah seseorang membaca karya sastra dalam hal ini puisi. Imageri dapat kita pakai sebagai hal untuk memperkuat serta memperjelas daya bayang pikiran manusia dan nantinya akan menjelmakan gambaran nyata. Tarigan (1985: 30) mengatakan bahwa segala yang dirasai atau dialami secara imajinatif inilah yang biasa dikenal dengan istilah imageri atau imagi. Dengan uraian di atas jelaslah bahwa citraan berfungsi untuk menimbulkan suasana tertentu yang berkaitan dengan sesuatu hal yang dapat diamati dengan indra.
Citraan yang terdapat dalam puisi Pamplet Cinta ini meliputi citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan gerak dan citraan perasaan.

a. Citraan Penglihatan
Citraan penglihatan adalah suatu gambaran angan yang dihasilkan penyair melalui indra penglihatan. Adapun data-data yang memuat mengenai citraan penglihatan nampak sebagai berikut:
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang kabutan
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku
( PC. II, 1,2 )

dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa
( PC. II, 4 )

Sepi menjadi kaca
Bunga-bunga yang ajaib bertebaran dilangit
( PC. III,2,3 )

Air laut berkilat-kilat
( PC. V,1 )


Lalu munculah kamu
Muncul dari perut matahari bunting
( PC. XI, 1,2 )

Memandang wajahmu dari segenap jurusan
( PC. XIV,2 )

Dari data-data di atas dapatlah kita katakan bahwa seolah-olah kejadian-kejadian itu kita lihat dengan sebenarnya tetapi sebenarnya tidak demikian.

b. Citraan Pendengaran
Citraan pendengaran adalah suatu gambaran angan yang dihasilkan penyair melalui indra pendengaran. Adapun data-data yang memuat mengenai citraan pendengaran nampak sebagai berikut:
Suara lautan adalah suara kesepian
( PC. V,2 )
Dari data di atas dapat diungkapkan bahwa seolah-olah penyair mendengar suara sepi, hampa, kosong, padahal kenyataan laut itu selalu bergemuruh mengeluarkan suara. Sehingga data di atas mengungkapkan tentang kesepian hati penyairnya, tetapi dibalik kesepiannya tersimpan rindu yang amat dalam.

c. Citraan Gerak
Citraan gerak adalah suatu gambaran angan yang dihasilkan penyair melalui indra gerak. Adapun data-data yang memuat mengenai citraan gerak nampak pada data berikut:
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang kabutan
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku
( PC. II, 12 )

Angin menyapu rambutku
( PC. VIII,1 )

sepuluh tahun akau berjalan tanpa tidur
Aku menulis sajak di bordes kereta api
Aku bertualang di dalam udara berdebu
( PC. IX, 1,5,6 )

Aku menyanyi menikmati hidup yang kelabu
( PC. X,2 )

Rahmad turun bagai hujan
Tapi juga menggigil bertanya-tanya
( PC. XI, 6,8 )
Dari data di atas maka kami dapat mengatakan bahwa gerakan yang ditimbulkan oleh penyair dalam puisinya adalah gerakan yang dilakukan kaki, tangan, badan, dan juga sesuatu yang bergerak menuju ke badan kita. Sesuatu tersebut adalah anugerah.

d. Citraan Perasaan
Citraan perasaan adalah suatu gambaran angan yang dihasilkan penyair melalui indra perasaan. Adapun data-data yang memuat mengenai citraan perasaan ini nampak sebagai berikut:
Udara penuh rasa curiga
( PC. IV,3 )

Dari data di atas maka kami dapat mengatakan bahwa betapa tidak enak di dalam kehidupan ini selalu dibayangi dengan ketakutan, kecurigaan dan saling tidak mempercayai.

3. Bahasa Kias
Bahasa kias atau gaya bahasa adalah suatu alat untuk melukiskan, menggambarkan, menegaskan inspirasi atau ide dalam bentuk bahasa dengan gaya yang mempesona (Jalil, 1985: 31). Dengan gaya bahasa tersebut diharapkan akan memberikan warna kehidupan atau menghidupkan kata-kata yang dikatakan penyair, apabila penggunaan gaya bahasa ini tepat, maka akan mempengaruhi hasil karya penyair tersebut.

a. Personifikasi
Jalil (1985: 32) mengatakan personifikasi adalah gaya bahasa yang digunakan untuk membandingkan benda mati dengan situasi atau tingkah laku manusia. Jadi, gaya bahasa ini memindahkan sifat manusia kepada benda-benda mati, seolah-olah benda tersebut berbuat seperti manusia. Adapun data yang mengungkapkan adanya gaya bahasa personifikasi nampak sebagai berikut:
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang kabutan
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku
( PC. II, 12 )

Kampus telah diserbu mobil berlapis baja
( PC. II, 5 )

Angin menyapu rambutmu
( PC. VIII,1 )

b. Hiperbola
Jalil (1985: 32) mengatakan hiperbola adalah gaya bahasa yang digunakan pengarang untuk mempertinggi nilai kata atau mempertinggi nilai-nilai dari bahasa itu sendiri. Jadi, gaya bahasa hiperbola ini untuk melebih-lebihkan sesuatu. Adapun data-data yang memuat gaya bahasa hiperbola nampak sebagai berikut:
Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja
( PC. II, 4, 5 )
Sepi menjadi kaca
( PC. III, 2,5 )

Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung
Perutku sobek di jalan raya yang lenggang
( PC. IX, 2,3 )


c. Pararelisme Anafora
Pararelisme anafora adalah gaya bahasa perulangan pada bagian awal kata. Mengenai gaya bahasa pararelisme anafora ini dapat dilihat dalam data berikut ini:
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang kabutan
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku
Aku merindukan wajahmu
( PC. II, 1,2,3 )

Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu
( PC. VII, 2,3,4 )

Penggunaan gaya bahasa pararelisme anafora ini adalah untuk memberikan penekanan pada kata-kata yang digunakan penyair, sehingga memberikan efek ketegasan dalam puisi.

4. Sarana Retorika
Sarana retorika merupakan alat untuk mengungkapkan keseluruhan bentuk, dalam arti bentuk yang terjalin dari kata-kata tersebut. Sarana retorika ini meliputi tiga hal yakni, ambiguitas, enjabemen, dan elipsis.

a. Ambiguitas
Ambigiutas adalah suatu kalimat yang memiliki makna ganda. Kridalaksana (1983: 10) mengatakan, ambiguitas adalah suatu kontruksi yang dapat diberi lebih dari satu tafsiran. Puisi tersebut mempunyai kalimat yang bermakna ambiguitas, ini nampak pada data berikut:

Aku tertawa, Ma !
( PC. VII, 5 )

Aku jadi bego, Ma !
( PC. XI, 9 )

Aku menulis sajak di bordes kereta api
( PC. IX, 5 )
Dari data di atas dapat dikatakan bahwa kata Ma disini dapat berarti Ibu, cinta kasih kepada Ibu. Dapat juga berarti Ma sebagai nama panggilan nama kekasih. Demikian pula kalimat di bordes kereta api, kalimat ini menimbulkan pengertian, ia menulis sajak di bordes kereta api, dapat pula berarti bahwa ia menulis sajak dengan judul di bordes kereta api.

b. Enjabemen
Enjabemen adalah peloncatan baris, yaitu perpindahan dari baris yang satu ke baris berikutnya, ini sesuai dengan pendapat Putu Arya Tirtawirya (1982: 35) yang mengatakan, bahwa enjabemen adalah pemenggalan kata dalam baris berikutnya. Peloncatan baris ini akan menimbulkan imagi penikmat, yaitu apa yang dimaksudkan penyair tersebut? Makna apa yang terkandung dengan penggunaan enjabemen tersebut? Ini semua merupakan hal yang harus diketahui oleh pembaca, karena dengan mengetahui hal tersebut akan memudahkan untuk menganalisis dan membaca puisi. Adapun data yang mengungkapkan tentang enjabemen tersebut nampak dalam data berikut:
Aku merindukan wajahmu,
dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa
( PC. II, 3,4 )

Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan
adalah penindasan
( PC. II, 10,11 )

Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,
aku menyanyi menikmati hidup yang kelabu
( PC. X, 1,2 )

Lalu muncullah kamu,
muncul dari perut matahari bunting,
jam dua belas seperempat siang
( PC. XI, 1,2,3 )

Rahmad turun bagai hujan
membuat segar,
tetapi juga menggigil bertanya-tanya.
(PC, XI, 6, 7, 8)

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair?
bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
(PC, IV, 1, 2)

Bahagia karena mempunyai kamu dalam kalbuku
dan sedih karena kita sering berpisah
(PC, XII, 2, 3)
c. Elipsis
Elipsis digunakan penyair untuk memperpadat isi puisinya dengan menyingkat kata tanpa mengubah maksud yang terkandung dalam puisi tersebut. Kata-kata elipsis yang terdapat dalam puisi Pamplet Cinta tidak banyak, ini menandakan bahwa Rendra kurang menyukai adanya elipsis dan lebih menyukai kata-kata secara keseluruhan dalam arti tidak disingkat. Adapun data yang memuat mengenai elipsis ini nampak sebagai berikut:

Aku disergap kejadian tak terduga …
Rahmad tunen bagai hujan
membuatku segar
tapi juga menggigil bertanya-tanya
Aku jadi bego, Ma!
(PC, XI, 5, 6, 7, 8, 9)
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku
Aku merindukan wajahmu
(PC, II, 2, 3)





IV. BENTUK PUISI

Bentuk puisi mempunyai peranan yang cukup penting. Dengan adanya bentuk puisi ini kita dapat menentukan puisi tersebut termasuk dalam periode berapa. Dalam arti puisi tersebut tergolong puisi lama atau modern. Di samping itu bentuk puisi antara puisi yang satu dengan lainnya berbeda. Adapun yang termasuk bentuk puisi adalah bait dan baris, nilai bunyi dan persajakan. Tiap-tiap bagian akan kami uraikan berikut ini.

1. Bait dan Baris
Puisi-puisi pada masa sekarang ini mempunyai bentuk bait dan baris yang berbeda-beda. Adapun bait dan baris yang terdapat dalam puisi tersebut nampak sebagai berikut:
Jumlah bait empat belas bait. Bait pertama dua baris, bait kedua sebelas baris, bait ketiga ketiga lima baris, bait keempat empat baris, bait kelima tiga baris, bait keenam dua baris, bait ketujuh lima baris, bait kedelapan dua baris, bait kesembilan enam baris, bait kesepuluh dua baris, bait kesebelas sembilan baris, bait kedua belas lima baris, bait ketiga belas tiga baris, bait keempat belas dua baris. Jumlah baris keseluruhannya enam puluh satu baris.

2. Nilai Bunyi
Nilai bunyi erat hubungannya dengan ritme dan rima. Tarigan (1985: 37-38), membagi nilai bunyi menjadi dua macam yakni euphony dan cacophony. Euphony adalah perulangan bunyi atau rima yang cerah, ringan , yang menunjukkan kegembiraan serta keceriaan dalam dunia puisi. Biasanya bunyi-bunyi i, e, dan a merupakan bunyi keceriaan. Cacophony adalah perulangan bunyi-bunyi yang berat menekan, menyeramkan, mengerikan seolah-olah seperti suara desau atau suara burung hantu. Biasanya bunyi-bunyi seperti ini diwakili oleh vokal-vokal o, u, e, atau diftong au.
Adapun mengenai nilai bunyi yang terdapat salam puisi Rendra ini akan kami kemukakan bait demi bait. Nilai bunyi tersebut nampak sebagai berikut:
Bait I : Bunyi-bunyi tersebut termasuk euphony, karena bernadakan kegembiraan dan keceriaan.
Bait II, III, IV : Bunyi-bunyi tersebut termasuk cocophony, karena bernadakan keadaan yang mencekam dan mengerikan.
Bait V,VI,VIII : Bunyi-bunyi tersebut termasuk euphony, karena bernadakan kegembiraan dan keceriaan.
Bait XI, X : Bunyi-bunyi tersebut termasuk cocophony, karena bernadakan keadaan yang mencekam dan mengerikan.
Bait XI, XII, : Bunyi-bunyi tersebut termasuk euphony, karena bernadakan
XIII, XIV kegembiraan dan keceriaan.
Secara keseluruhan nilai bunyi yan terdapat dalam puisi “Pamplet Cinta” ini lebih dominan bunyi-bunyi euphony, karena bernadakan kegembiraan dan keceriaan. Bunyi cacophony juga ada di dalam puisi tersebut, walaupun tidak mendominasi.

a. Persajakan
Persajakan ada dua macam, yaitu persajakan berdasarkan tempat dan persajakan susunan. Berdasarkan tempat masih dibagi lagi, yaitu persajakan awal dan persajakan akhir. Persajakan awal, yaitu apabila perulangan bunyi terdapat pada tiap-tiap awal perkataan. Persajakan akhir apabila perulangan itu dijumpai pada akhir setiap kata dalam satu baris. Berdasarkan susunannya persajakan masih dibagi lagi, yaitu persajakan berangkai, berulang dan berpeluk. Persajakan berangkai apabila persamaan bunyi aa, bb, cc dan seterusnya. Persajakan berulang apabila persamaan bunyinya abac, cdce. Persajakan berpeluk apabila persamaan bunyinya abba, cddc (Tarigan, 1985: 35-36).
Puisi Pamplet Cinta ini mempunyai persajakan bebas, karena tidak dibatasi oleh kesemua hal yang telah kami kemukakan. Lagi pula jumlah barisnya dari bait yang satu dengan bait lainnya berbeda. Sehingga persajakan bebas ini tidak memerlukan aturan, dalam arti aturan menganai persajakan.


V. ISI PUISI

Isi puisi adalah segala hal mengenai apa yang terkandung dalam puisi tersebut. Maksud dari penyair diungkapkan dibagian isi puisi ini. Isi puisi ini mencakup mengenai narasi, emosi dan ide.

1. Narasi
Narasi adalah suatu bentuk wacana yang bertugas menggambarkan sejelas-jelasnya suatu objek. Objek itu seolah-olah berada di depan mata kita sebagai penikmat, sehingga narasi lebih dikenal sesuatu yang berusaha mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa (Keraf, 1982: 137-138). Disini seluruh rangkaian kejadian itu berlangsung dalam suatu kesatuan waktu.
Narasi dalam sebuah puisi berarti penguraian atau penceritaan dimana puisi bukan sebagai bentukan dari hal-hal di luar puisi, melainkan dari isi puisi itu sendiri. Maksudnya adalah bahwa puisi sebagai suatu yang harus disampaikan kepada orang lain dengan jalan seperti bercerita.
Rendra dalam puisi “Pamplet Cinta” ini mengungkapkan mengenai kerinduan kepada kekasihnya, kekasih menurut Rendra disini bukan hanya sekedar orang yang menerima dan memberikan saja, tetapi seorang kekasih yang dicintainya dengan setulus hati, dengan kekaguman yang dalam. Kekasih adalah seorang yang dapat dijadikan tempat membagi rasa, baik di dalam keadaan suka maupun duka. Di samping itu diceritakan pula tentang bagaimana Rendra bercerita tentang kekacauan zaman, tentang kekhawatirannya sebagai seorang penyair, tentang harapan hidup, tentang kesedihan dan kebahagiaan. Segala keseriusan hatinya disampaikan kepada kekasihnya tercinta.

2. Emosi
Emosi adalah perasaan penyair yang diungkapkan melalui hasil karyanya dalam hal ini puisi. Situmorang (1983: 13) mengatakan bahwa dalam kehidupan yang nyata emosi atau perasaan timbul oleh suatu situasi konkret yang membangkitkan perasaan-perasaan cinta dan benci, hasrat dan keagungan. Dengan demikian terlihat nyata bahwa emosi diwarnai oleh suasana hati penyair, yang kadang-kadang dipelajari dengan membiasakan peka terhadap lingkungannya.
Dalam puisi “Pamplet Cinta” emosi nampak sebagai kelembutan karena kerinduan maupun emosi yang bersifat kasar karena rasa gelisah yang ada di dalam hatinya. Adapun data yang mengungkapkan mengenai emosi kelembutan tersebut nampak sebagai berikut:
Yaah, Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan gelisah.
Bahagia karena mempunyai kamu dalam kalbuku,
dan sedih karenakita sering berpisah.
( PC. XII, 1,2,3 )
Demikian pula emosi yang berupa luapan perasaan karena melihat zaman yang tidak menentu, lihat data berikut:
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang kabutan
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku
Aku merindukan wajahmu,
dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja
Kata-kata telah dilawan dengan senjata
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini
Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.
Keamanan yan berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.
( PC. II )
Emosi tersebut pada bait dua timbul pada diri penyair, karena penyair peka terhadap lingkungan yang dirasakannya tidak lagi memberikan ketentraman batin. Kepekaan terhadap sekeliling merupakan kepekaan terhadap suasana kehidupan, dengan demikian terlihatlah betapa Rendra dengan puisinya “Pamplet Cinta” ini telah berusaha mengungkapkan suasana kehidupan tersebut dengan bahasa dan kemampuannya.

a. Ide
Ide atau gagasan adalah yang menjelmakan menjadi puisi. Puisi tidak lahir dari lintasan perasaan saja, tetapi puisi juga lahir dari perenungan yang panjang sebelum tertuang dalam rangkaian kata, yang mengungkapkan apa yang dilihatnya, direnungkan, kemudian berkembang menjadi imajiansinya.
Puisi Rendra, Pamplet Cinta mengemukakan permasalahan tentang rasa cinta kasih yang tulus kepada kekasihnya, didalamnya juga terdapat nilai-nilai sosial yang mulai tergeser oleh penindasan kekuasaan, kekacauan zaman dan lain-lain.
VI. ANALISIS MIMETIK

Pengertian mimetik mula-mula dinyatakan oleh Plato dan Aristoteles, tetapi keduanya berbeda dalam menafsirkan makna mimetik. Karya sastra merupakan jiplakan dari kenyataan. Sedangkan Aristoteles berpendapat lain bahwa mimetik tidak semata-mata menjiplak kenyataan, tetapi merupakan sebuah proses kreatif; pengarang sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru (dalam Luxembrug dkk., terjemahan Hartoko, 1986: 16-17). Sedangkan M.H. Abrams mengatakan bahwa orientasi mimetik menjelaskan seni pada prinsipnya sebuah tiruan dari aspek alam (1953: 8).
Andre Haryana berpendapat bahwa aspek mimetik merupakan unsur luar yang sangat berpengaruh dalam proses terciptanya suatu karya sastra, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan roman atau novel yang besar lewat daya khayal pengarangnya adalah sebuah penafsiran kembali dari persoalan-persoalan masyarakat, termasuk sejarah dan pengalaman sosial manusia dalam lingkungan hidup dan jamannya.
Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa analisis mimetik berdasarkan pada relevansi antara karya sastra dengan kenyataan yang merupakan proses kreatif pengarang berdasarkan pengalaman hidupnya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dikaitkan dengan aspek mimetik yang menonjol dalam puisi “Pamplet Cinta” maka analisis mimetik ini meliputi: aspek sosial dan cinta.

1. Aspek Sosial
Karya sastra pada dasarnya mengungkapkan nilai-nilai kehidupan dengan segala permasalahannya, tetapi tidak berarti karya sastra merupakan cermin kehidupan secara mutlak. Subjek selalu mempengaruhi penciptaaan karya sastra, sehingga masing-masing pengarang mempunyai pandangan sendiri-sendiri terhadap objek yang sama.
Sesuatu yang diungkapkan dalam karya sastra merupakan gambaran kehidupan. Bukan hal yang aneh jika permasalahan-permasalahan yang timbul dalam karya sastra kemungkinan terjadi dalam kehidupan sehari-hari, atau pada waktu tertentu. Seperti dikatakan oleh Yakob Sumarjo bahwa tinjauan sosiologis terhadap karya sastra merupakan suatu tinjauan yang memungkinkan untuk diterapkan, karena karya sastra merupakan gambaran kehidupan, walaupun harus tetap disadari bahwa tinjauan itu tidak akan mendapat hasil yang bermutu baik. persoalannya objek yang harus dihadapi hanya sekedar gambaran kehidupan yang sifatnya lebih menonjolkan perasaan dibandingkan fakta yang objektif. Oleh sebab itu, hasil penelitian sosiologi sastra berfungsi untuk memperoleh gambaran sosial dalam karya sastra, yaitu penggambaran kehidupan yang menjadi latar belakang cerita (1981: 24).
Dalam puisi “Pamplet Cinta” dilukiskan masalah sosial tentang keadaan zaman yang sudah berubah, dimana manusia sudah terpengaruh adanya nafsu dan ambisi yang menimbulkan sifat-sifat kurang baik seperti penindasan dan pemberontakan serta rasa saling mencurigai diantara sesama umat. Demikian pula keadaan di lingkungan kampus atau pendidikan telah dipengaruhi hal-hal yang sifatnya merusak keetisan dunia pendidikan.
Penyair mengungkapkan idenya tentang nilai-nilai sosial yang sudah bergeser. Hal ini dapat dilihat dalam data sebagai berikut:
Aku menyaksikan zaman berjalan kalang kabutan
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakat
Aku merindukan wajahmu,
dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja
Kata-kata telah dilawan dengan senjata
Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan
dan ketegangan
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akan sehat
Keamanan yang berdasar senjata dan kekuasaan
adalah penindasan
( PC. Bait II )

Dari data di atas melukiskan bahwa penyair menyaksikan keadaan masyarakat kampus yang dipenuhi rasa kurang puas para mahasiswa dengan kondisi saat itu. Di samping itu keamanan telah kena pengaruh material yan gemerlapan. Sehingga keamanan, ketentraman dan kejujuran, justru dianggap perbuatan yang menakutkan. Benda yang dianggap canggih dan mendapat perhatian adalah ancaman atau paksaan dan persenjataan yang modern. Maka yang muncul dalam masyarakat adalah penindasan yang sering merugikan masyarakat. Dari sinilah dapat diketahui bahwa nilai sosial sudah mulai tergeser.
Pada bait berikutnya penyair juga melukiskan tentang keadaan sosial masyarakat yang berekonomi lemah. Hal ini terdapat pada data sebagai berikut:
Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur
Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung
Perutku sobek di jalan raya yang lenggang …………..
Tidak. Aku tidak sedih kesepian.
Aku menulis sajak di bordes kereta api
Aku bertualang di dalam udara berdebu
Dengan berteman anjing-anjing gelodog dan kucing-kucing liar,
Aku menyanyi menikmati hidup yang kelabu
( PC. Bait IX, X )

Data tersebut di atas dapat ditafsirkan bahwa penyair telah lama mengalami hidup sengsara, yakni kemiskinan, ia melukiskan penderitaannya dengan terus terang. Hidupnya dilukiskan bersama orang-orang miskin dan para gelandangan. Namun hal ini dijalaninya terus menerus dengan perasaan tak menentu.

2. Cinta
Dalam puisi “Pamplet Cinta” ini pengarang melukiskan tentang perasaan hatinya dalam menghadapi seseorang yang dicintainya. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup tanpa cinta. Baik cinta sesama umat maupun cinta terhadap Tuhan. Oleh karena itu, tidak aneh jika penyair yang memiliki kepekaan yang tajam dan rasa cinta, serta senang menikmati keindahan mampu melukiskan perasaan dan pengalaman hidupnya secara romantis. Rendra adalah seorang penyair yang suka protes tetapi protesnya demi cintanya terhadap sesama.
Rasa cinta yang tulus diungkapkan dalam puisi ini dengan bahasa sederhana. Cintanya terhadap seseorang wanita yang dapat menimbulkan semangat hidup. Hal ini terlukis dalam data sebagai berikut:
Yaah, ma mencintai kamu adalah bahagia dan sedih
Bahagia karena mempunyai kamu dalam kalbuku,
dan sedih karena kita sering berpisah
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.
Tetapi bukanlah kehidupan sendiri adalah bahagia
dan sedih?
( PC. bait XII )


Data di atas melukiskan tentang rasa cinta yang tulus terhadap sesama umat, yakni seorang wanita. Dengan rasa cinta yang tulus maka membuat seseorang menjadi lebih semangat dan bangkit harapan hidupnya. Di sisi lain juga dapat dikaitkan dengan rasa cinta terhadap Tuhan. Manusia hidup jika memiliki rasa cinta pada Tuhan, maka ia akan teringat selalu. Meskipun disadari pada suatu saat manusia akan terlena sehingga dalam waktu tertentu akan melupakan Tuhan dan berbuat yang bertentangan dengan ajaran kebaikan. Manusia menyadari bahwa persaan cinta perlu dipupuk terus, agar kita tidak terlena pada hal-hal yang tidak baik. Karena dalam kehidupan penuh ketegangan-ketegangan atau konflik-konflik.
Menurut penyair disaat sepi dapat menenangkan pikiran dan menumbuhkan kesadaran hati manusia. Ingat terhadap Tuhan dan suatu kebenaran, sehingga manusia dapat menemukan eksistensi dirinya. Hal ini menunjukkan besarnya rasa cinta terhadap Sang Pencipta alam. Pemikiran semacam ini terlihat pada data sebagai berikut:
Air laut berkilat-kilat.
Suara lautan adalah suara kesepian.
Dan lalu muncul wajahmu.

Kamu menjadi makna
Makna menjadi harapan.
( PC. Bait V dan VI )
Jika dalam diri manusia sudah ada rasa cinta, maka segala yang dilakukan mempunyai arti; sehingga sesuatu yang dilakukan dapat menjadi harapan dan kepastian dalam langkah-langkah berikutnya.
Dari lukisan sajak di atas sebenaranya dapat diambil intinya, bahwa pada dasarnya manusia dalam hidupnya jangan sampai kehilangan rasa cinta. Sebab tanpa rasa cinta mustahil kita dapat menikmati hidup serta menjalankan segala perintah-Nnya.



VII. KESIMPULAN

Dari uraian dan analisis data, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pilihan kata yang banyak digunakan oleh Rendra dalam puisinya “Pamplet Cinta” adalah kata-kata yang bermakna denotatif, tetapi Rendra tidak mengesampingkan kata-kata yang bermakna konotatif.
Citraan yang digunakan mengutamakan perasaan, penglihatan, pendengaran dan gerak. Citraan penglihatan dan citraan gerak merupakan citraan yang banyak digunakan.
Bahasa kias yang digunakan meliputi personifikasi, hiperbola, dan pararelisme anafora.
Sarana retorika meliputi ambiguitas, enjabemen, dan elipsis. Dari ketiga sarana retorika tersebut yang banyak digunakan adalah enjabemen.
Jumlah bait yang terdapat dalam puisi “Pamplet Cinta” sebanyak empat belas bait, bait yang satu dengan bait yang lainnya jumlah barisnya berlainan. Jumlah baris seluruhnya enam puluh satu baris.
Nilai bunyi yang terdapat dalam puisi tersebut adalah bunyi-bunyi euphony dan bunyi-bunyi cacophony. Bunyi-bunyi yang paling banyak terdapat pada puisi “Pamplet Cinta” adalah bunyi-bunyi euphony.
Persajakan yang terdapat dalam puisi “Pamplet Cinta” adalah persajakan bebas, karena tidak dibatasi oleh aturan persajakan.
Narasi yang terdapat dalam puisi “Pamplet Cinta” adalah mengenai kerinduan kepada kekasihnya. Kekasih disini maksudnya orang yang mencintai dengan setulus hati.
Emosi yang diungkapkan Rendra, yaitu emosi yang bersifat kasar karena rasa gelisah yang ada dihatinya. Di sini emosi tersebut ada dua macam, yaitu emosi kelembutan dan emosi yang berupa luapan perasaan.
Ide yang dikemukakan oleh Rendra, yaitu di samping rasa cinta kasih yang tulus kepada kekasihnya, juga terdapat nilai-nilai sosial yang mulai tergeser oeleh keadaaan zaman.
Aspek sosial yang dilukiskan penyair mengenai rasa tidak puas mahasiswa terhadap kenyataan yang dihadapi dan adanya penindasan serta kemiskinan.
Aspek cinta meliputi cinta terhadap sesama umat dan pada seorang wanita serta terhadap Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Alisabana, S. Takdir. 1976. Penilaian Chairil Anwar Kembali. Budaya Jaya, IX-Maret 1976. Jakarta: Gramedia.

Dharma, Budi. 1984. Moral Dalam Sastra,(Dalam Andy Zoelton, ed.). Budaya Sastra. Jakarta: C.V. Rajawali.

Esten, Mursal. 1984. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.

Guntur, Tarigan Henry. 1985. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: PN. Angkasa.

Haryana, Andre. 1985. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Hartoko, Dick dan L. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Jalil, Danie Abdul. 1985. Teori dan Periodesasi Puisi Indonesia. Bandung: PN. Angkasa.

Keraf, Georys. 1982. Eksposisi dan Deskripsi. Jakarta: Gramedia.

Rendra, WS. 1980. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Lembaga Study Pembangunan.
Situmorang, BP. 1983. Puisi Teori Apresiasi Bentuk dan Struktur. Ende Flores: Nusa Indah.

Tirtawirya, Putu Arya. 1982. Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende Flores: Nusa Indah.

Tidak ada komentar: