Sabtu, 25 April 2009

MODEL PEMBELAJARAN CERITA PENDEK YANG APRESIATIF


Oleh: Eri Sarimanah

1. Pendahuluan
Konon, pembelajaran sastra di sekolah berhadapan dengan berbagai masalah serius. Maman S Mahayana dalam bukunya Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia mengemukakan pernyataan yang cukup mencengangkan:
Begitu banyak guru yang terlanjur terjebak pada cara pengkajian sastra yang agak menyesatkan. Lalu, mereka menularkannya pada murid-muridnya. Maka berantailah ketersesatan dalam pengkajian sastra. Pengkajian sastra dan pemahaman terhadapnya, berkutat pada teks yang diperlakukan sebagai artefak beku, kerontang dan artifisial. Segala konsepsi tentang unsur intrinsik menjadi senjata pamungkas kekayaan-sosiokultural yang mendekam di dalam teks.

Pernyataan di atas kiranya patut diperhatikan oleh para pengajar untuk mempertimbangkan kembali upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pengajaran apresiasi sastra di sekolah yang ditengarai kurang apresiatif. Pembelajaran sastra cenderung kurang berani menggali teks dalam konteks yang lebih luas. Padahal sangatlah mungkin mengajak pelajar/ pembaca untuk dibawa ke luar dunia teks, dan dibawa masuk menyelami unsur pembangun dari luar teks yang antara lain, latar belakang pengarang, gaya penulisan, dan gejala/situasi sosial tertentu.
Kita telah sepakat bahwa dalam proses lahirnya sebuah karya sastra banyak unsur yang mempengaruhi terutama dengan konteks masyarakat tempat lahirnya karya sastra tersebut. Dalam hubungannya dengan masyarakat, kesusastraan dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial yang langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat yang berlaku dan dianut masyarakat tertentu. Gejala sosial itu oleh pengarang diolah, direkayasa, dan dirangkaikan menjadi struktur karya yang terpadu dan memiliki otonomi sebagai sebuah teks. Salah satu bentuk karya sastra tersebut adalah cerita pendek.
Cerita pendek adalah salah satu jenis karya sastra yang berbentuk prosa fiksi yang bentuknya relatif pendek; tidak sepanjang novel. Namun demikian “kependekan” sebuah cerita pendek itu tidak berarti dangkal dalam hal maknanya. Sebuah cerita pendek yang panjangnya “hanya” sekitar 3-4 halaman dapat mengandung makna yang dalam yang menghabiskan waktu berhari-hari untuk memahaminya. Unsur-unsur pembangun cerita pendek secara garis besar dibedakan menjadi dua; (1) unsur pembangun dari dalam berupa alur, tokoh dan penokohan, setting, sudut pandang penceritaan, bahasa, dan tema, (2) unsur pembangun dari luar antara lain, latar belakang pengarang, gaya penulisan, dan gejala/situasi sosial tertentu.
Seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin majemuk baik dari sudut pola pikir maupun pola perilaku, gejala sosial yang ditangkap oleh para pengarang cerita pendek itu semakin beragam. Keberagaman ini, oleh pengarang diwujudkan dalam berbagai bentuk kreativitas penulisan cerita pendek yang diharapkan dapat berperan dalam proses mengubah, membangun, dan mengembangkan masyarakat, termasuk di dalamnya mempengaruhi perubahan nilai, norma, dan pola bermasyarakat. Mereka mencoba berperan dalam perubahan sosial tersebut dengan gaya khas cerita pendek yang mereka hasilkan. Mereka secara terus-menerus mencoba melihat, mencermati, dan menganalisis dinamika sosial dan fenomena sosial yang terjadi dan sekaligus mempengaruhinya dengan ide-ide mereka yang dibungkus dalam kekuatan kata yang mereka rangkaikan.
Sebagai sebuah bangsa yang ingin maju perlulah kiranya berkenalan dengan kebudayaan dan kesusastraan asing. Mengenal dan memahami kebudayaan dan kesuastraan asing sesungguhnya tidak sekadar menambah wawasan, membuka cakrawala baru tentang kebudayaan dan tata hehidupan di belahan dunia lain, mengilhami untuk menghasilkan karya yang mirip atau punya kesamaan, tetapi juga melebarkan peluang terjadinya akulturasi, adaptasi, bahkan juga adopsi. Ini sangatlah beralasan mengingat kekayaan karya sastra akan meningkat dan terwarnai dengan bersikap terbuka terhadap sastra dan budaya asing, yang tentu saja melalui proses penyaringan yang disesuaikan dengan kondisi sosio kultural.
Kesusastraan banyak dipengaruhi dinamika perubahan yang terjadi dimasyarakatnya. Sisi kehidupan manusia, kesantunan sebuah masyarakat, peperangan, konflik ideologi, traumatik mewarnai tulisan-tulisan para pengarang di lingkungannya. Perkembangan yang terjadi dihadirkan melalui karya-karya sastra.
Untuk memahami dinamika dan fenomena sosial yang terwujud dalam sebuah cerita pendek tersebut, diperlukan proses apresiasi. Dengan langkah ini diharapkan pembelajar dapat mengikuti perubahan sosial yang terjadi. Sebagai langkah awal proses ini, diperlukannya pengenalan apresiasi di sekolah-sekolah.
Untuk memahami dinamika dan fenomena sosial yang terwujud dalam sebuah cerita pendek tersebut, diperlukan proses apresiasi. Dengan langkah ini diharapkan pembelajar dapat mengikuti perubahan sosial yang terjadi. Sebagai langkah awal proses ini, diperlukannya pengenalan apresiasi di sekolah-sekolah.
Sekolah, sebagai salah satu lembaga yang ada dalam masyarakat, diharapkan turut berperan dalam pengembangan masyarakat. Di lembaga ini pulalah, pengarang dengan kekhasan mereka pada karya-karya cerpennya, diperkenalkan kepada pembelajar lewat pembelajaran apresiasi sastra.
Salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mencapai beberapa tujuan di atas adalah mendorong pembelajar untuk mengapresiasi karya sastra. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana apresiasi sastra itu dapat dipergunakan pengajar untuk membantu pembelajar memahami perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat?

2. Pembelajaran Cerita Pendek
Pembelajaran sastra di sekolah dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pembelajar dalam mengapresiasikan suatu karya sastra. Dari proses apresiasi ini, diharapkan muncul daya nalar, daya kritis, dan daya khayal dari diri pembelajar. Penalaran yang runtut dan didukung oleh ketajaman analisis akan membantu pembelajar untuk mempunyai kepekaan terhadap gejala atau fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Hal ini diharapkan dapat terwujud karena dalam kurikulum pembelajaran sastra, tertera pembelajaran sastra yang memang diarahkan pada kegiatan apresiasi sastra sekaligus pemahaman sosial budaya yang terkandung dalam karya sastra termasuk di dalamnya cerita pendek. Di dalam KTSP telah diketengahkan beberapa butir pembelajaran sastra yang bertujuan agar pembelajar (1) mampu memahami dan menghayati karya sastra, (2) mampu menulis prosa, puisi, dan drama, (3) mampu menggali nilai-nilai moral, sosial dan budaya dalam karya sastra Indonesia dan karya sastra terjemahan, (4) mampu menulis krestif, (5) mampu membuat tanggapan terhadap tulisan kreatif, dan mampu membuat kritik dan esai sastra.
Berkaitan dengan pembelajaran sastra ini, Rahmanto menyatakan bahwa pembelajaran sastra dapat membangun dan membantu pendidikan secara utuh bila pembelajaran itu selain dapat meningkatkan keterampilan berbahasa juga dapat mengembangkan cipta rasa, menunjang pembentukan watak pembelajar, dan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman budaya. Tujuan-tujuan itu dapat dicapai setelah pembelajar menjalani proses apresiasi terhadap karya-karya sastra.
Sebuah alternatif usulan langkah kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan apresiasi siswa terhadap cerpen, yaitu dengan menjalani tiga langkah dalam proses pembelajarannya. Langkah pertama adalah keterlibatan jiwa. Langkah kedua adalah pemahaman dan penghargaan atas penguasaan sastrawan dalam menyajikan pengalaman dalam karya sastra. Langkah ketiga adalah langkah analisis. Berikut diuraikan langkah-langkah pembelajaannya.
Langkah pertama adalah keterlibatan jiwa. Dalam langkah ini pembelajar diharapkan dapat memahami masalah yang diangkat sastrawan/ penulis dalam karya sastra. Selain itu, pembelajar diharapkan dapat merasakan perasaan yang dimunculkan atau yang dialami tokoh-tokohnya sekaligus sebagai usaha membayangkan dunia yang dikreasikan oleh sastrawan. Hal penting yang perlu diketahui oleh pembelajar dalam tahap ini adalah penerapan nilai-nilai estetika sastra pada pengalaman hidup yang tertuang dalam bahasa. Dengan kata lain, tahap ini diarahkan pada pemahaman atas penerapan unsur-unsur intrinsik cerita pendek.
Langkah kedua adalah pemahaman dan penghargaan atas penguasaan sastrawan dalam menyajikan pengalaman dalam karya sastra. Pada langkah ini pembelajar diharapkan mengetahui dan memahami cara atau teknik sastrawan menerapkan asas keserasian, keutuhan, dan tekanan pada pengalamannya sehingga lahir suatu karya dan cara mereka memilih, mengolah, dan menyusun lambang-lambang yang dipakai dalam karyanya. Langkah ini memungkinkan pembelajar untuk bersikap kritis terhadap setiap karya sastra yang dihasilkan pengarang sekaligus menguji kepekaan pembelajar dalam menghubungkan dua fenomena yaitu fenomena dalam karya sastra dan fenomena yang terjadi dalam masyarakat nyata.
Langkah ketiga adalah langkah analisis. Pada langkah ini pembelajar diharapkan dapat mempermasalahkan fakta-fakta yang tertuang dalam karya sastra dan menemukan hubungan fakta-fakta tersebut dengan realitas kehidupan yang ada dalam kehidupan mereka. Dalam langkah inilah nantinya, pembelajar dapat terbantu menemukan kesesuaian dunia rekaan dalam karya sastra dengan dunia nyata dalam kehidupan sekaligus memahami perubahan yang terjadi.
Langkah-langkah apresiasi di atas dapat membantu pembelajar mengapresiasi secara optimal bila dalam pelaksanaannya mengikuti asas kewajaran dan keterpaduan. Asas kewajaran memungkinkan dijalaninya proses apresiasi sesuai dengan kesiapan mental pembelajar, termasuk juga dalam pemilihan karya sastra yang akan diparesiasi. Asas keterpaduan menyarankan keterkaitan langkah-langkah apresiasi yang dilakukan. Langkah-langkah itu tidak boleh dipisah-pisah karena merupakan satu kesatuan proses.

3. Dari Pembelajaran Cerpen ke Pemahaman Situasi Masyarakat
Setelah di atas diuraikan perihal pembelajaran sastra dan perubahan sosial, sekarang akan diuraikan bagaimana pembelajaran apresiasi sastra dapat dipergunakan untuk memahami perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Nurgiyantoro menyatakan bahwa sastra merupakan salah satu sumber penting dalam pemahaman budaya. Hal ini dapat dirunut karena dalam karya sastra tercermin pandangan penulisnya yang terbentuk dan dipengaruhi oleh kebiasaan hidup yang dijalaninya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain penulis karya sastra merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakatnya dan diantara keduanya terjadi hubungan timbal balik dalam penciptaan karya sastra.
Sehubungan dengan timbal balik antara pengarang dan masyarakat patut dikemukakan di sini pendapat Hardjana bahwa semua pandangan, sikap, dan nilai-nilai, termasuk di dalamnya kebutuhan-kebutuhan seseorang, termasuk juga pengarang, ditimba dari sumber tata kemasyarakatn yang ada dan berlaku dalam masyarakat dan komunitas. Jadi jelaslah hubungan timbal balik antara masyarakat dan pengarang keduanya saling mempengaruhi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Faruk, mengutip pandangan Marx, bahwa struktur sosial suatu masyarakat juga lembaga di dalamnya, moralitasnya, dan kesuasastraannya ditentukan oleh kondisi produktif kehidupan anggota masyarakatnya sendiri termasuk pengarang di dalamnya. Ini membawa implikasi bahwa semakin produktif pengarang mencipta karya sastra dan diapresiasi masyarakat pembacanya, ini merupakan indikasi dinamisnya struktur sosial masyarakat yang bersangkutan.
Bertolak dari hal tersebut di atas, dapatlah kiranya pembelajaran cerita pendek digunakan sebagai titik tolak pemahaman perubahan sosial yang terjadi mengingat cerita pendek lahir atau merupakan produk dari pengarang yang di dalamnya berisi berbagai masukan yang diperoleh dari kenyataan yang terpampang dalam kehidupan dan ditarik ke dalam bingkai permenungan pengarang dan akhirnya lahirlah sebuah karya.
Sebagai langkah awal dalam proses apresiasi seperti yang dimaksud di atas, perlulah kiranya adanya kecermatan dalam pemilihan cerita pendek. Karya-karya yang dipilih untuk diapresiasi pembelajar hendaknya karya yang mengandung perubahan-perubahan nilai, norma, dan tata kehidupan yang ditawarkan oleh pengarang. Cerita pendek yang dipilih hendaknya diupayakan sesuai dengan tingkat perkembangan usia dan pola pikir pembelajar sehingga, pembelajar dapat mengetahui dan memahami perubahan sosial yang terjadi atau diinginkan atau yang ditawarkan oleh pengarangnya.

4. Penerapan Langkah-langkah Apresiasi
Pada bagian ini akan dipaparkan contoh penerapan langkah-langkah apresiasi cerita pendek yang telah dijelaskan di muka dalam pembelajaran di kelas. Cerpen yang akan diapresiasi berjudul Dinihari ke Garis Depan karya Bang Hyun Suk seorang cerpenis terkenal di Korea. Cerita pendek ini mengisahkan suatu kejadian yang mencekam tentang aksi mogok para karyawan pabrik.
4.1 Langkah pertama
Langkah pertama dalam apresiasi cerpen ini adalah menumbuhkan keterlibatan jiwa pembelajar. Hal ini bisa ditempuh dengan mengajak pembelajar menemukan masalah yang ada dalam cerpen itu. Apakah masalah itu terjadi karena penguasa pabrik telah berlaku sewenang-wenang dan tidak manusiawi? Apakah para pekerja telah menunaikan tugasnya dengan benar? Ataukah ada hak-hak atau bagian yang tidak dipenuhi oleh penguasa pabrik? Untuk menemukan masalahnya, kita bimbing pembelajar untuk ikut merasakan situasi yang ada dalam cerpen itu . Kita ajak mereka untuk masuk dalam suatu pengandaian dengan menuntun pembelajar dengan pertanyaan-pertanyaan: bagaimana perasaan Anda bila menjadi pekerja pabrik? Langkah-langkah apa yang harus diambil untuk mengatasi persoalan itu? Atau pertanyaan: bagaimana perasaan Anda bila Anda menjadi penguasa pabrik?Apakah Anda akan marah, bertanya-tanya, protes, atau menuntut jika karyawan menuntut haknya? Bila ini benar-benar terjadi, ini merupakan gejala yang bagus karena dinamika kelas telah tercipta dan ini memudahkan pengajar untuk menggali informasi atau tanggapan dari pembelajar untuk mendapatkan kesan umum terhadap cerita pendek tersebut.
4.2 Langkah kedua
Apabila langkah pertama sudah selesai, pengajar bisa membantu pembelajar untuk masuk ke langkah kedua yaitu mencermati cara-cara pengarang dalam menyajikan cerita pendek itu. Apakah Bang Hyun Suk sebagai pengarang sudah menggambarkan realitas yang tepat dalam cerpen itu? Bagaimana Bang Hyun Suk memilih kata, ungkapan, dan kalimat dalam cerpennya; apakah kata dan ungkapannya sulit dan tidak biasanya bagi pembelajar; apakah ia menggunakan kalimat yang panjang dan kalimat bertele-tele atau kalimat yang sederhana tapi penuh dengan makna?
Pengajar dapat meminta pembelajar untuk menunjukkan beberapa contoh kata, ungkapan, dan kalimat yang menurut mereka sulit dipahami atau yang menarik perhatian mereka dan membahasnya bersama. Pada langkah ini pula, pengajar dapat meminta pembelajar untuk menemukan simbol-simbol yang dipakai Bang Hyun Suk dan mencoba menafsirkan lambang atau simbol tersebut. Di akhir langkah kedua ini, pebelajar diminta mengutarakan pendapat/kesan mereka terhadap cara penyajian Bang Hyun Suk dalam cerpennya dan seberapa jauh cara penyajian cerita tersebut membantu pembelajar memahami cerpen Dinihari ke Garis Depan. Tukar informasi dan pengalaman dalam langkah ini akan membuat situasi kelas lebih hidup dan dinamis serta merangsang pembelajar untuk berani mengungkapkan perasaan dan pendapatnya.
4.3 Langkah ketiga
Langkah ketiga adalah proses menemukan hubungan pengalaman pembelajar yang diperoleh dari membaca cerpen Dinihari ke Garis Depan dengan pengalaman pembelajar dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil-hasil apresiasi di langkah pertama dan kedua akan sangat membantu pembelajar untuk memasuki langkah ketiga ini karena mereka tinggal menemukan titik temu hal-hal yang mereka temukan pada tahap sebelumnya dengan kehidupan keseharian mereka. Apakah mungkin peristiwa yang terjadi dalam cerpen itu bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari? Apabila itu bisa terjadi dalam hidup nyata, bagaimana seharusnya mereka bersikap?
Pembelajar juga dapat kita bantu untuk sampai pada proses mempertanyakan kembali apa sebenarnya yang hendak disampaikan Bang Hyun Suk dalam cerpen ini, nilai-nilai moral apa yang bisa diambil dari apresiasi cerpen ini, atau nilai-nilai sosial apa yang harus ada bila peristiwa seperti dalam cerpen Dinihari ke Garis Depan benar-benar terjadi?
Langkah ketiga ini bisa membantu pembelajar untuk lebih peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekelilingnya. Sebagai contoh, apakah mereka peka dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan toleransi antarmasyarakat di tempat mereka tinggal? Apabila kepekaan itu sudah mulai ada dalam diri mereka, maka nilai-nilai sosial dan nilai-nilai moral yang ada dalam cerpen tersebut dapat membantu mereka dalam menjalani peran mereka baik di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat.
Bila ketiga langkah apresiasi sudah dijalankan, pengajar bisa mendapatkan umpan balik dari pelaksanaan proses tersebut. Umpan balik ini sangat penting untuk mengetahui tingkat pemahaman pembelajar dalam setiap langkah apresiasi dan pemahaman cerita pendek Dinihari ke Garis Depan .Teknik untuk mendapat umpan balik ini bisa dilakukan dengan cara, (1) meminta pembelajar menyampaikan hasil apresiasi secara lisan dalam suatu diskusi, (2) meminta para pembelajar menuliskan hasil apresiasinya baik secara individual maupun kelompok, (3) meminta pembelajar menukarkan hasil apresiasinya atas cerpen itu dengan milik temannya sehingga mereka akan semakin diperkaya oleh berbagai masukan dari temannya sekaligus melatih mereka untuk menghargai hasil karya teman mereka, (4) pengajar memberikan masukan, naik lisan maupun tertulis terhadap hasil karya pembelajar sehingga mereka mendapat suatu penguatan (reinforcement) atas hasil apresiasi mereka. Masukan ini dapat ditekankan pada kemampuan pembelajar dalam menghubungkan secara logis tiap aspek yang ada dalam cerpen Dinihari ke Garis Depan.

5. Penutup
Sebagai catatan akhir dari tulisan ini patutlah kiranya dimunculkan beberapa hal di sini bahwa pembelajaran cerpen dapat dimulai dengan menumbuhkan rasa kecintaan pembelajar terhadap karya sastra cerpen yang di dalamnya termuat nilai-nilai, norma-norma, “potret” masyarakat yang ditangkap oleh pengarang. Untuk menjalani proses tersebut, perlulah kiranya ditempuh langkah apresiasi yang dilaksanakan secara wajar dan berkesinambungan dengan cerita pendek yang sesuai dengan tingkat perkembangan pembelajar.
Pemilihan bahan yang tepat sasaran akan sangat membantu pelaksanaan langkah-langkah apresiasi. Untuk itu, penting kiranya juga bila pengajar mempunyai koleksi cerita pendek tidak hanya karya-karya bangsa Indonesia tetapi juga karya-karya penulis asing diantaranya Korea. Dengan begitu pengajar punya banyak pilihan untuk aktivitas pembelajarannya. Selain itu, perlu juga memberi kesempatan kepada pembelajar untuk memilih cerita pendek, membacanya, dan mengapresiasikannya. Dengan terlewatinya seluruh rangkaian proses tersebut diharapkan pembelajar semakin peka terhadap gejala-gejala sosial dan perubahan dinamika masyarakat tempat mereka menjalani kehidupannya.

Pustaka Acuan
Bang Hyun Suk, Koh Young Hun,dkk. 2007. Laut dan Kupu-kupu (terjemahan) . Jakarta: Gramedia

Faruk, H.T. 1994. Sosiologi Sastra .Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hardjana, Andre. 1991. Kritik Sastra: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia
Luxemburg, J.P,dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia
Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Nurgiantoro, Burhan. 1995. “Sastra Sebagai Pemahaman Antarbudaya” dalam Cakrawala Pendidkan No. 3, tahun XIV November.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius

Tidak ada komentar: